MPR, GBHN dan Reamandemen Terbatas UUD 1945

Oleh: Abdul Rohman

Suku-suku kecil di Indonesia dari segi kuantitas jelas tidak mungkin menyodorkan wakilnya di parlemen  maupun DPD melalui kompetisi bebas.

Policy ini bisa menyebabkan terjadi proses “indianisasi” seperti terjadi di AS atau “aboroginisasi” di Australia.

Penduduk asli dan golongan-golongan yang minoritas tersingkir dari kontestasi politik secara bebas. Hal mana keberadaan golongan ini dilindungi oleh UUD 1945 asli.

Pasal 3 UUD 1945 asli menyatakan, “Majelis permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-undang Dasar dan Garis-Garis besar haluan Negara”.

Ketentuan ini diubah melalui amandemen, sehingga Pasal 3 UUD 1945 berbunyi:

“(1) MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.

(2) MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden.

(3) MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar”.

Pasal 3 UUD asli ini esensi dari makna MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat.

Implementasinya dalam bentuk merumuskan dan menetapkan GBHN yang harus dilaksanakan oleh presiden (mandataris MPR).

Sedangkan operasionalisasinya dirumuskan bersama Presiden-DPR melalui UU.

Awal-awal reformasi diwarnai euphoria dengan tafsir demokrasi identik kebebasan secara ekstrem.

Salah satunya dengan gairah dekonstruksi tatanan Orde Baru yang dianggap otoriter. Semua yang terkait Orde Baru ‘buruk’ dan harus dihapus.

Euphoria itu dirasakan kini membawa korban bagi bangsa ini. Sistem MPR yang diwariskan oleh para perumus konstitusi generasi awal ikut didekonstruksi.

Implikasi perubahan itu adalah:

Pertama, perubahan Pasal 1 UUD 1945 asli menjadikan pelaksana kedaulatan menjadi tidak jelas dalam sistem ketatanegaraan saat ini.

Lihat juga...