Perubahan itu membuat tidak adanya leader, atau subyek jelas sebagai penjaga dan pelaksana kedaulatan.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 hanya menyebut, “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Tafsir dan implementasinya menjadi absurd.
Kedua, perubahan Pasal 2 UUD 1945 asli memberangus multikulturalisme Nusantara.
UUD 1945 asli melindungi golongan-golongan minoritas dengan melibatkannya sebagai penentu arah dan kebijakan negara.
Mereka dimasukkan sebagai anggota MPR dalam hal fungsi MPR menetapkan GBHN (arah dan kebijakan negara).
Walau tidak direkrut melalui Pemilu bebas, golongan-golongan ini diberi hak untuk ikut menentukan arah dan kebijakan negara.
Tidak diikutkan dalam Pemilu bebas karena banyak golongan ini minoritas, sehingga tidak mungkin bisa menyodorkan wakilnya dalam Pemilu bebas.
Sebagai contoh, Suku Tengger atau Suku Baduwi. Jumlah penduduknya tidak mungkin cukup untuk menyorongkan wakilnya di MPR.
Karena itu, para perumus kosntitusi generasi awal memberi perlindungan kepada mereka.
Sayangnya, perlindungan itu dibongkar oleh generasi reformasi yang slogannya juga melindungi pluralisme.
Ketiga, perubahan Pasal 3 UUD 1945 asli membuat bangsa tidak memiliki haluan strategis dalam memproyeksikan kemajuan masa depannya.
Setiap ganti rezim akan ganti visi dan skala prioritas program pembangunan.
Hal itu menyebabkan diskontinuitas pembangunan nasional. Khususnya, jika terjadi perubhan rezim.
Melucuti MPR sebagai locus of power membuat beban dialektis prioritas pembangunan terletak pada presiden terpilih dan DPR.
Ketika presiden terpilih melalui Pemilu langsung oleh rakyat, tidak memiliki kekuatan parlemen mayoritas, potensi konflik DPR – presiden terjadi.