Menebak Arah Pendulum Dukungan Capres 2024 Bagian 1
Oleh: Abdul Rohman
Kelemahan lain adalah pemahamannya terhadap sosiokultur dan sosiopolitik bangsa Indonesia yang multikompleks.
Habibie tidak memiliki semua itu, begitu lingkaran-lingkaran cendekiawan di sekelilingnya.
Habibie didikan Jerman, hidupnya banyak berkutat mempelajari sain dan industri strategis.
Tudingan sektarian itu sebenarnya sebagian merupakan cerminan gerakan politik faksi-faksi tertentu dalam kendali mantan ‘Kaisar Intelijen’ Benny Moerdani, yang (faksinya) juga mengincar kursi presiden.
Ia kecewa tidak didukung oleh Presiden Soeharto sebagai penggantinya.
Tentu Presiden Soeharto menyadari faksi muslim akan menolak Benny.
Benny Moerdani yang nonmuslim akan memicu komplikasi berkepanjangan jika didukung menjadi presiden.
Gerakan Moerdani berdampak pula pada pandangan Singapura sebagai basis investasi internasional di Kawasan Asia Tenggara.
Bisa jadi pandangan Singapura juga dicoraki atau dikondisikan Benny sendiri.
Lee Kwan Yew membuat statemen panas, bahwa kemunculan Habibie sebagai wapres akan menyebabkan rupiah merosot.
Statemen itu tampak sebagai ancaman, jika Habibie wapresnya maka rupiah akan digempur.
Perseteruan berlanjut, ketika BJ Habibie secara otomatis memperoleh limpahan jabatan sebagai presiden.
Perang opini terjadi. Habibie membalas Singapura dengan tudingan sebagai “red dot in the map”.
Hanya titik merah saja dalam peta, kok bertingkah. Begitulah kira-kira tafsir bebasnya.
Habibie bekerja skematis terorganisir dalam menjalankan pemerintahannya.
Ibarat sepak bola ia tidak mengandalkan pemain bintang sebagaimana Brazil.
Ia mengandalkan kerja tim sebagaimana tim sepak bola Jerman. Setiap beberapa jam, para menteri dipantau posisi dan progres program-programnya.