Memahami Esensi Manusia, Perspektif Al-Qur’an sebagai Ilmu Pengetahuan

OLEH: HASANUDDIN

Sebaliknya ruh tidak dapat dipengaruhi oleh biologis (tubuh) maupun psikologis manusia (jiwa). Hal ini menjelaskan kata “ruhy” pada ayat di atas yang berarti “ruh-Ku”. Allah meniupkan ruh-Ku untuk menyempurnakan penciptaannya atas manusia. Dapat diterima oleh mereka yang beriman kepada Allah, kenapa ruh itu “jujur” dan “suci”. Jujur karena memiliki sifat sama seperti sifat malaikat, dan “suci” karena bersifat ilahi (berbekal sifat Allah, yakni Al-Haqq).

Demikianlah Allah swt memberi petunjuk-Nya kepada ruh dalam diri biologis (manusia) yang Allah kehendaki. Dan jika seseorang telah diberi penerimaan atas pengetahuan ini, maka seseorang itu akan teguh keberimanannya kepada Allah. Allah swt berfirman:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (56)

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash ayat 56).

Lihat pula misalnya surah Ibrahim (14) ayat 4.

Maka dapatlah dipahami bahwa manusia itu, adalah makhluk yang berketuhanan, atau rabbaniyyun. Dalam arti bahwa esensi terdalam dari manusia itu adalah keilahian. Hanya saja esensi terdalam ini tidak dapat diverifikasi oleh sains, dan Al-Qur’an menyebutnya sebagai rahasia, dan karena sifatnya yang hanya tunduk dan patuh kepada Allah, serta hanya menerima perintah Allah, maka dalam hadis Qudsi dikatakan bahwa “hamba-Ku, adalah rahasia-Ku, dan Aku adalah rahasia hamba-Ku”.

Sehingga dengan demikian, esensi manusia adalah rabbaniyyun, dan eksistensinya adalah hamba Allah. Wallahu a’lam bissawab.

Lihat juga...