Kebebasan Berpikir dan Berekspresi

OLEH HASANUDDIN

APA sejatinya itu kebebasan berpikir. Catatan berikut ini adalah cara pandang tentang kebebasan berpikir dan berekspresi yang dipahami para kalangan arif, kalangan alim, para kaum sufi, yang kami coba ‘turunkan’ ke level epistemologi dengan harapan lebih mudah dimengerti.

Manusia memiliki potensi mendengar, melihat dan memahami sesuatu, karena dibekali dengan suatu anugerah berupa ruh. Allah SWT ‘meniupkan’ ruh manusia itu ke dalam hati, dimana hati ini adalah wadahnya.

Dengan demikian, ruh itu terpisah dari jasad, dengan segala sifat yang menyertai jasad atau tubuh itu. Jasad atau tubuh sendiri dengan segala sifat alaminya disebut nafs atau jiwa. Jadi tubuh itu form atau bentuk (surah), dan jiwa atau nafs itu sifatnya. Disebut nafs karena sesuatu dengan sifatnya tidak dapat dipisahkan.

Ruh yang Allah “tiupkan” kedalam nafs inilah yang melakukan aktifitas berpikir. Apa yang terasa oleh indera manusia yang merupakan bagian dari nafs, dijelaskan oleh ruh. Apa yang terlihat oleh mata manusia dijelaskan oleh ruh.

Sebab itu, ruh dapat pula disebut dengan “aql”. Sebagaimana sebab kehadiran ruh itu ke dalam nafs (diri/self), melalui cara “ditiupkan” oleh Allah SWT, maka ruh ini memiliki pula potensialitas berupa bashiran wa nashira, di samping potensi sam’a, walabshara, walfuada.

Potensi berupa bashira wanashira merupakan instrumen untuk menerima informasi langsung dari Allah SWT, kemudian ditransfer ke fuad dari fuada ini diteruskan ke otak, yang akan nampak kemudian dalam bentuk tindakan atau kreasi yang bernilai baik. Sebaliknya, melalui indera eksternal manusia melalui pendengaran, penglihatan, perabaan, perasaan, pengecapan, ruh menerjemahkannya pula dan memberikan penjelasan kepada otak tentang hal Ikhwal yang telah disampaikan panca indera ini.

Lihat juga...