“Lho, Rus. Kamu disuruh jemput ikan?”
Aku tergagap mendapati Yu Jum tiba-tiba berada di depan muka. Sepertinya, agak lama aku berjalan menerawang kehidupan.
“Sampaikan pada Mamakmu. Ikan ini sudah aku bumbui. Tinggal digoreng saja.”
Bisaku hanya mengangguk sewaktu Yu Jum menyodorkan bungkusan. Sani, anaknya yang selisih lima tahun di bawahku, tersenyum.
Sebelum pamit, aku melihat kedua mata Sani dan Yu Jum benar-benar binar.
***
TERNYATA beginilah sosok Bapak. Tinggi, kurus, agak hitam dan bermata cekung. Tak ada kehangatan yang terpancar pada diri kami bertiga.
Semua terasa kaku. Padahal di atas lincak, telah tersedia nasi dan lauk ikan wader, kesukaan Bapak. Mamak tak banyak bicara seperti biasanya. Barangkali ia juga merasa kaku, dan perlu mencairkan suasana dengan mengajak makan bersama.
Hanya saja, pada suapan pertama, Bapak tersedak cukup lama. Aku khawatir melihatnya mendelik, berusaha mengeluarkan nasi yang telanjur ditelan.
“Kau yang masak ikan ini?”
“Jum yang bumbui. Kenapa?” kata Mamak hati-hati.
Bapak menggeleng. Selebihnya ia sangat lahap menikmati lauk kesukaannya ini.
Kuakui, sejak kedatangan Bapak, Mamak tak lagi kerja keras. Ia tak lagi mengais sisa gabah bekas panen petani di sawah. Bahkan, ladang yang dulu digadai, Bapak tebus dan dikerjakan sendiri. Aku merasa, inilah yang namanya keluarga. Lengkap dan bahagia.
Hanya saja, Tuhan punya rencana beda. Mamak tiba-tiba sakit. Sakitnya tak tertolong. Tubuhnya kejang-kejang. Dari mulutnya keluar darah hitam.
Perempuan itu wafat tanpa beri wasiat. Bapak tampak terpukul. Tapi itu tak sampai empat puluh hari. Tanpa izin dariku, Bapak tiba-tiba mengawini Yu Jum.