Bapak Pulang dari Malaysia

CERPEN NURILLAH ACHMAD

Hanya saja, aku tak menemukan apa-apa, kecuali kilau bening air mata yang tak lama kemudian jatuh perlahan.

“Sebejat apa pun, dia tetap bapakmu. Hanya mani lelaki itu yang memasuki farjiku hingga kau lahir dan besar seperti ini.”

Tapi aku dibesarkan Mamak, kataku dalam hati. Selebihnya aku tak berani membantah. Aku memilih berjalan menuju rumah Yu Jum di pinggir sungai. Di sepanjang jalan yang membelintang, berulang kali aku mendongakkan kepala.

Menatap langit yang sepertinya ikut murung. Padanya aku bertanya-tanya, apa yang harus aku lakukan nanti saat Bapak benar-benar berada di depan mata. Aku tak tahu harus bersikap seperti apa.

Satu-satunya bayangan bagaimana hubungan anak dan bapak adalah membayangkan teman-teman di sekolah saat mereka diantar atau dijemput bapaknya.

Kadang, aku iri melihat Ningsih, kawan dekatku di sekolah, saat dibonceng bapaknya memakai sepeda ontel tua. Aku sering melihat bapaknya menuding ke arah langit, sementara Ningsih manggut-manggut dari atas sadel.

Ketika aku bertanya di sekolah, perihal apa yang diceritakan sang bapak, Ningsih tak segan-segan berkata, kalau bapaknya mengajari perbedaan musim kemarau dan hujan.

Kata bapak Ningsih, bilamana matahari lebih condong ke selatan, maka musim hujan akan datang. Pun begitu sebaliknya, bilamana matahari condong ke arah utara, maka musim kemarau akan menyapa.

Berbinar aku mendengarkan penjelasan Ningsih. Aku rasa, ia anak yang paling beruntung di dunia. Memiliki bapak yang tak menghilang ke Malaysia. Meski begitu, aku juga merasa beruntung memiliki ibu seperti Mamak.

Ia, mamakku, selalu berusaha memenuhi segala kebutuhanku. Selama ini, ia mati-matian menjadi buruh tani demi menghidupi kami. Hanya saja, aku masih bertanya-tanya, apakah ketegaran Mamak akan terjaga saat Bapak nanti berada di rumah.

Lihat juga...