Padahal orang-orang hidup berjejer di sepanjang aliran Sungai Mrawan yang tak jarang dihuni ikan wader dan nila berukuran besar.
Sejak itu, aku tak lagi banyak bertanya soal Bapak. Pun begitu dengan Mamak yang tak lagi mengungkit soal suaminya.
Bagi kami, hidup berdua dengan keadaan melarat begini, akan lebih baik jika difokuskan mencari nafkah saja daripada meributkan suatu kehilangan yang tak jelas ujung rimbanya.
Bukan apa-apa. Dari pengalaman orang kampung yang merantau ke Malaysia, hanya ada dua kemungkinan yang bakal terjadi. Pulang atau menghilang.
Dan kami, menganggap Bapak telah menghilang sebagaimana orang-orang di kampung yang tak kunjung datang meski telah merantau dua puluh tahun lamanya.
Hanya saja, berita yang disampaikan Yu Jum benar-benar menguras pikiran. Mamak tak lagi fokus. Nanak nasi saja sampai hangus. Aku saja masih meragukan kabar Yu Jum.
“Kau tahu siapa Lek Dullah? Dia perekrut tenaga kerja yang akan menyeberang ke Malaysia,” kata Mamak.
Aku manggut-manggut mengiyakan. Soal Lek Dullah, di sudut mana warga tinggal di kampung ini, pasti mengenal sepak terjangnya. Namanya masyhur dan bersanding dengan nama kepala desa.
Barang siapa merasa kekurangan uang, jangankan siang, tengah malam pun Lek Dullah akan membuka pintu lebar-lebar meminjamkan. Hanya saja, bunga yang disertakan sama persis seperti bunga di bank. Tapi orang-orang tak keberatan.
“Kau temui Yu Jum. Barangkali ia lupa mengantarkan ikan wader dan nila.”
Sebelum menyetujui perintah Mamak, aku sempat menatapnya lekat-lekat. Barangkali dari kedua bola matanya aku menemukan jawaban, seberapa besar keinginannya bertemu dengan Bapak.