Padat Karya Berbasis Kearifan Lokal Dukung Penghasilan Warga Lamsel
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
Proses pemanenan hingga pasca panen sebutnya menyerap tenaga kerja cukup banyak. Ia harus mengeluarkan upah tenaga kerja dengan sistem padat karya hingga Rp2 juta.
Upah diberikan kepada tenaga pemetik hingga proses pengupasan rata-rata Rp1.000 per kilogram. Semakin banyak hasil panen jengkol upah tenaga kerja yang diberikan semakin banyak.
“Warga yang membantu dominan kerabat namun upah tetap diberikan sebagai kearifan lokal petani pedesaan,” cetusnya.
Rohana, pekerja yang memetik jengkol dari ranting mengaku bisa mendapat upah puluhan ribu hingga ratusan ribu.
Upah sebesar Rp1.000 sebutnya cukup menjanjikan dibanding berdiam diri di rumah. Terlebih saat pandemi pekerjaan lain sulit dilakukan. Bersama sejumlah wanita di Desa Kelawi ia bekerja memetik jengkol sebagai tambahan penghasilan.
Rohana bilang selain bekerja saat di kebun, ia masih bisa mendapat hasil saat di rumah. Sebab jengkol yang masih memiliki kulit bisa dikupas sebagai pekerjaan tambahan.
Ia masih bisa mendapat hasil Rp1.000 per kilogram. Pengupasan kerap dilakukan belasan wanita yang menghasilkan jengkol tanpa kulit.
“Semakin terampil mengupas jengkol hasil upah yang diperoleh bisa puluhan hingga ratusan ribu,” tegasnya.
Holifah, salah satu pengepul jengkol menyebut usaha jual beli hasil pertanian cukup menjanjikan. Peluang usaha kecil itu menjadi sumber padat karya bagi warga pedesaan.
