Belum Miliki Alat Pengolah, Petani Jual Biji Kakao Kering
Editor: Makmun Hidayat
LAMPUNG — Produksi komoditas pertanian kakao di Lampung Selatan dominan dijual dalam bentuk kering. Harni, pemilik tanaman kakao atau kopi coklat di Desa Pasuruan, Kecamatan Penengahan menyebut biji kakao tidak pernah diolah.
Ia mengaku, terkendala tidak memiliki alat penggiling bubuk kakao membuatnya memilih menjual dalam bentuk utuh.
Berbeda dengan kopi robusta dan arabica, sejumlah tempat penggilingan menyediakan alat sangrai. Pemilik kebun kopi yang akan mendapatkan bubuk bisa menggilingnya memakai alat khusus. Kakao yang telah dikeringkan dengan proses penjemuran menurut Harni dijual mulai harga Rp20.000 per kilogram. Proses pembuatan bubuk kakao pernah dilakukan olehnya untuk campuran pembuatan kue.
Potensi pengolahan biji kakao sebut Harni berpotensi menghasilkan tambahan secara ekonomis. Sebab bubuk kakao bisa dipergunakan untuk produksi sejumlah kue kering. Namun tersedianya kakao hasil produksi pabrik lebih banyak digunakan oleh produsen kue. Potensi hasil panen kakao yang melimpah di lahan petani sebagian hanya dijual dalam bentuk mentah.
“Selama ini belum ada pelatihan cara pengolahan biji kakao sehingga petani memilih menjualnya dalam bentuk biji kering, padahal potensi produk jadi berupa bubuk bisa memiliki harga dua kali lipat untuk bahan kuliner berupa kue dan sejumlah minuman kekinian,” terang Harni saat ditemui Cendana News, Senin (8/2/2021).

Potensi hasil panen kakao sebut Harni cukup tinggi karena bisa dipanen setiap dua pekan. Pohon produktif mampu menghasilkan buah matang setiap dua pekan yang bisa dijemur. Usai dipanen kakao akan dipisahkan dari kulit untuk proses fermentasi. Setelah proses fermentasi pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air. Semakin rendah kadar air kakao yang dijual akan semakin tinggi.