Harimau Jantan dari Kuantan

CERPEN AFRI MELDAM

Dan memang, harimau jantan itu hampir kembali mengambil korban kalau saja sebutir peluru tak bersarang di kaki belakangnya sebelah kanan. Kesakitan, ia kabur ke hutan.

“Harimau jantan itu menyusuri hutan dari Pangkalan, naik ke Palukahan, lalu terus ke Lurah Sembilan.” Begitu kabar tersiar dari mulut ke mulut di kampung kami, menjadi perbincangan dari pagi ke petang, dari siang ke malam, dari pekan ke pekan.

Lurah Sembilan, semua orang tahu, adalah rimba tak bertuan, tempat yang sejak lama diyakini tak hanya dihuni binatang-binatang buas, tapi juga menjadi rumah orang bunian dan mambang hutan.

Orang-orang kampung kami yang pada musim tertentu pergi menangkap ikan hingga ke hulu sungai Singingi memang tak punya pilihan selain melintasi kawasan hutan di Lurah Sembilan.

Maka, sepanjang jalan, doa-doa keselamatan akan terus dipanjatkan dan segala pantangan harus selalu diingatkan. Kau, misalnya, tak boleh meludah di aliran anak sungai yang membelah jalan; tak membuang apa pun selain yang kau temukan di hutan; dan harus berbicara pelan-pelan.

Dan, yang paling harus kau ingat, tentu saja larangan untuk tidak bersiul – sesuatu yang sangat tidak disukai Niniak Langkisau si penjaga hutan.

Bapak, kami yakin, sudah katam dengan segala pantangan dan larangan. Karena memang bukan sekali dua kali ia menjelajahi hutan, baik bersama kawan-kawan ataupun sendirian. Dan kami tahu belaka ia telah mengakrabi hutan bahkan sebelum ia dikhitan.

Apakah, jika memang itu benar-benar terjadi, nasib sial belaka yang mengantarkannya ke dalam mulut harimau jantan dari Kuantan?

Dulu, ketika kami masih suka menceburkan diri di lubuk-lubuk sungai sampai bibir menghitam, sesekali kami pernah mendengar cerita tentang Bapak yang memelihara kuan, jin penjaga yang akan selalu berada di sisi sang tuan.

Lihat juga...