Mempopulerkan Jamu untuk Meningkatkan Pemanfaatan Rempah Indonesia
Editor: Mahadeva
Dalam mengembangkan dan memperkenalkan jamu, perlu fokus pada rasa. Karena rasa adalah kunci agar jamu ini bisa dinikmati. “Selain itu, dalam membuat jamu ini, harus sangat memperhatikan takaran dan waktu memasak. Lagipula, membuat jamu ini juga berkaitan dengan doa atau istilahnya jampi ushodo,” ungkapnya.
Ahli Antropologi Universitas Airlangga, DR Pinky Saptandari menjelaskan, semua budaya pada dasarnya mengenal racikan dari tumbuhan atau rempah. Tetapi, tidak semua menamakannya sebagai jamu. “Jadi apapun tujuan yang ingin dicapai dari ramuan yang mereka bikin, baik preventif maupun kuratif, baik pemakaian di luar badan atau di dalam badan, dengan berbagai rempah-rempah semuanya sangat dipengaruhi oleh tradisi yang ada di daerah bersangkutan,” urai Pinky.
Pinky mencontohkan budaya masyarakat Minang, yang mengenal ramuan untuk spa. Dari penelusuran ditemukan, adanya penggunaan bahan yang berbedam berdasarkan kabupaten atau daerahnya. “Apa yang digunakan oleh Kabupaten Limapuluh Kota berbeda dengan yang dari Bukit Tinggi,” jelasnya.
Atau seperti budaya Jawa dan Sunda. Yang mengkonsumsi rempah-rempah dalam bentuk yang berbeda. “Kalau di Jawa, dibuat sebagai jamu. Tapi kalau di tataran Sunda. dibuat sebagai lalapan. Dan dari semua daerah memiliki kekhasan yang mampu membangun tidak hanya kesehatan, daya tarik wisata dan akhirnya pada sektor ekonomi,” jelasnya.
Budaya meminum jamu, biasanya akan dipengaruhi secara kuat oleh tradisi yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan kuno pada daerah tersebut. “Misalnya, tradisi yang muncul dari keraton Solo, keraton Yogya, Cirebon, Sumenep atau Banjar. Ini pasti akan ada budaya meminum jamu atau penggunaan rempah pada bagian tubuh luar, seperti luluran,” kata Pinky.