Identitas Politik Islam

OLEH: HASANUDDIN

POLITIK beridentitas, tentu seperti itu. Tidak ada kegiatan politik yang tidak memiliki identitas. Karena identitas itu suatu keniscayaan untuk mengenali sesuatu. Bagaimana suatu aktivitas politik dapat membangun pengaruh, jika tidak jelas identitasnya.

Di mana pun seperti itu. Lihatlah misalnya bagaimana Emmanuel Macron menginjak-injak simbol-simbol Islam di Prancis, dan berdiri di barisan Charlie Hebdo, majalah kaum atheis di Prancis itu. Kenapa Macron memilih sikap berdiri bersama kaum atheis, karena populasi kaum atheis di Prancis sangat besar, diperkirakan sekitar 35 persen warga Prancis itu atheis.

Menurut Eurobarometer Poll terbaru 2005, [36] 34% warga Prancis merespon bahwa “mereka mempercayai adanya Tuhan”, sementara 27% menjawab “mereka percaya terdapat suatu jenis ruh atau kekuatan hidup” dan 33% menyatakan “mereka tidak percaya adanya suatu jenis ruh, Tuhan, atau kekuatan hidup”. Satu survei lain menyatakan 32% penduduk di Prancis ateis, dan 32% lainnya “meragukan adanya Tuhan tetapi bukan ateis”. [37]

Jumlah komunitas Yahudi di Prancis mencapai 600.000 menurut World Jewish Congress dan merupakan yang terbesar di Eropa. Perkiraan jumlah Muslim di Prancis selalu bermacam. Menurut sensus Prancis 1999, terdapat 3.7 juta orang dengan “kemungkinan kepercayaan Muslim” di Prancis (6.3% dari total populasi). Tahun 2003, Kementerian Dalam Negeri Prancis memperkirakan jumlah Muslim mencapai 5-6 juta.

Dengan demikian dapat kita katakan bahwa saat ini Prancis telah menjadi negara atheis.

Perhatikan pula bagaimana pilpres di Amerika, ketika pada pilpres lalu Trum menangkan kontestasi dengan menggunakan isu rasis. Kini Joe Biden membalas kekalahan Partai Demokrat juga dengan menggunakan strateg politik identitas. Beberapa kali Biden menggunakan hadits, bahkan ayat-ayat Al-Quran dalam kampanye virtual mereka dengan komunitas Muslim di Amerika. Hasilnya, Trump kalah telak.