Dampak Kebijakan Cina Tutup Pintu karena Kasus Impor Covid-19

Kebanyakan memang penerbangan carter. Kalau pun reguler, biasanya dari Cina kosong atau tidak membawa penumpang.

Beberapa penerbangan dari Indonesia tidak ada yang langsung menuju Beijing, melainkan ke beberapa kota, seperti Guangzhou, Shenzhen, Fuzhou, Hangzhou, Kunming, Nanning, dan Chengdu, dengan penumpang mayoritas pekerja asal Cina.

Sesampainya di kota-kota tersebut, mereka diwajibkan karantina selama 14 hari terlebih dulu sebelum melanjutkan penerbangan ke kota tujuan.

Bila tiga kali tes usap selama masa karantina hasilnya negatif, maka berhak mendapatkan sertifikat kesehatan dari pemerintah setempat. Sertifikat tersebut menjadi bekal pulang ke kampung halaman di Cina.

Bila di antara penumpang tersebut, apakah warga negara Cina atau bukan, yang hasil tesnya positif, maka masuk kategori kasus impor.

Pada penerbangan Xiamen Airlines dari Jakarta menuju Fuzhou tanggal 22 Oktober, terdapat satu kasus positif sebagaimana hasil tes usap di Bandar Udara Internasional Changle.

Lalu, ada juga penerbangan 30 Oktober dari Manado didapati tiga kasus positif.

Sebenarnya bukan persoalan seberapa besar sumbangan kasus impor yang dibawa penerbangan dari Indonesia. Namun yang menjadi kekhawatiran sebagian besar warga negara Cina yang hendak pulang kampung, adalah potensi menerima perlakuan berbeda dari lingkungan sekitar.

Seorang anggota grup WeChat khusus penumpang Xiamen Airlines Jakarta-Fuzhou tanggal 22 Oktober, memberikan saran kepada rekan-rekannya yang hendak pulang kampung setelah selesai menjalani karantina 14 hari di Ibu Kota Provinsi Fujian itu.

“Kalau mau pulang ke desa, sebisa mungkin rahasiakan. Jangan sampai temanmu tahu. Sebelumnya, beberapa teman yang baru pulang dari Indonesia, di desanya ribut dan mendapatkan penolakan dari warga, sehingga memaksa teman tersebut langsung kembali ke hotel untuk isolasi lagi,” demikian perempuan itu, Selasa (4/11), mengisahkan pengalaman temannya.

Lihat juga...