Rendang Dendang, Otentifikasi Rasa di Tengah Modernitas
Redaktur: Muhsin Efri Yanto
Orang tuanya, yang memang asli Minang, menyarankan untuk memasak dengan menggunakan kayu. Karena memang, hanya cara itulah yang membuat masakan rendang benar-benar terasa enak dan spesifik.
“Alhamdulillah, suami semangat juga. Malah dia yang pertama membeli kayu buat masak, sama tukang kayu yang sedang memotong pohon di pinggir jalan,” ungkapnya.
Tapi, masalah belum selesai. Ternyata, menurut orang tua Dewi, kayu yang akan dipergunakan untuk memasak itu harus kering. Kalau masih basah, akan menyebabkan asap.
“Seiring berjalannya waktu, semakin banyak yang tahu bahwa saya memasak rendang dengan kayu, akhirnya banyak yang menawarkan kepada kami. Hingga sekarang, rendang yang dimasak menggunakan kayu menjadi otentifikasi dari Dendang,” ungkapnya.
Dewi menceritakan memasak rendang dengan kayu dalam waktu yang lama akan memberikan rasa yang bernuansa pulang kampung, makan masakan keluarga.
“Jadi yang pengen ditampilkan adalah walaupun gak bisa pulang kampung, minimal bisa makan bercita rasa kampung, ya adalah emosionalnya. Walaupun masaknya hingga 12 jam, tapi hasilnya memang memuaskan para pelanggan Dendang,” kata Dewi melanjutkan ceritanya.
Ia menyatakan tidak ada bumbu rahasia dari rendang hasil masakannya. Semua bumbu rendang sama dan semua orang bisa memasak rendang.
“Tapi memang, beda tangan hasilnya memang beda,” tandasnya.
Selain Dendeng dan Rendang Daging, Dewi menyebutkan ia juga memproduksi rendang paru, rendang jengkol dan sambal lado tanak jengkol. Ada juga sambel ikan bilih dan sambal dendeng. Ukuran dan harga bervariasi dari setiap masakan.
“Ya, semuanya yang menimbulkan emosional, layaknya pulang kampung. Repotnya terbayar dengan rasa otentik yang dihasilkan. Saya juga sengaja memisahkan dapur untuk memasak produksi dengan dapur yang untuk masak hari-hari,” ujarnya.