Polemik ‘Anjay’ Kesantunan Kata Bergantung Konteks

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

SEMARANG – Penggunaan kata anjay menjadi pro kontra di tengah masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa kata tersebut merendahkan martabat orang lain, hinga bisa menjadi kekerasan verbal. Namun tidak sedikit pula, bahwa hal tersebut hanya bentuk keakraban pertemanan.

Merespons hal itu, dosen sosiolinguistik Universitas Negeri Semarang (Unnes), Rahmat Petuguran, menilai, kata anjay merupakan variasi leksikon dari kata anjing.

“Pada lingkungan tertentu, khususnya anak muda, kata anjay jadi bentuk penyamaran karena kata ‘anjing’, yang dinilai terlalu kasar. Variasi lain, misalnya kata ‘anjir’ atau ‘anjrit’,” paparnya saat ditemui di Semarang, Senin (31/8/2020).

Namun dirinya menilai, penggunaan kata ‘anjay’, telah mengalami perkembangan cukup jauh. Tidak seperti bentuk aslinya, kata ‘anjing’, yang dominan digunakan sebagai makian. Dipaparkan, kata ‘anjay’, ternyata juga berfungsi sebagai ekspresi apresiasi.

“Nah, kapan itu berfungsi sebagai makian dan kapan menjadi ungkapan apresiasi sangat bergantung dengan konteks,” lanjutnya.

Jika disampaikan dalam konteks keakraban, besar kemungkinan ‘anjay’ merupakan ekspresi apresiatif. Tapi, jika dalam relasi permusuhan besar kemungkinan adalah makian.

“Kata makian lain, juga punya pola penggunaan serupa. Di Jawa Timur ‘jancuk’ bisa jadi makian, sekaligus ekspresi keakraban. Di Semarang kata ‘kakeane’ juga bisa menjadi ekspresi permusuhan, juga penanda keakraban, bergantung konteksnya,” kata salah satu penulis buku ‘Politik Bahasa Penguasa’ tersebut.

Berbagai kemungkinan itu, menurut Rahmat, terjadi karena bahasa memiliki dua fungsi sekaligus yaitu sebagai perekat sosial (social glue) dan pelumas sosial (social lubricant). Kata yang sama, lanjutnya, bisa dipakai untuk mengakrabkan sekaligus bisa menjadi pemecah hubungan sosial.

Lihat juga...