MUI: Gaya Hidup Halal jadi Hak Konsumen
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
JAKARTA – Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat, KH Cholil Nafis, mengatakan, ketika bicara gaya hidup halal, berarti secara bersamaan bicara hidup yang islami.
“Islam yang kaffah itu di sini, gaya hidup halal. Artinya, kita jangan bicara soal ibadahnya saja, tetapi kita juga bicara ekonominya,” ujar KH Cholil, saat dihubungi, Minggu (16/8/2020).
Sehingga lanjut dia lagi, mengandung arti pula bahwa berjamaah bukan hanya pada saat salat saja, tapi usaha pun harus berjamaah.
“Halal menjadi penting, halal menjadi gaya hidup,” imbuhnya.
KH. Cholil mencontohkan, saat dirinya berkunjung ke negara Perancis. Menurutnya, di stasiun kereta api tujuan Perancis ke Belanda, di sana makanan halal menjadi bergengsi dan harganya lebih mahal daripada yang lain karena mempunyai nilai plus.
“Ya karena makanan itu bersertifikasi halal. Itu makanan, selain higienis dan thoyib, juga ada nilai plus adalah halal,” ungkapnya.
Padahal menurutnya, negara Perancis penduduknya tidak mayoritas muslim. Namun Indonesia dengan jumlah penduduk 270 juta jiwa, tercatat 88 persen adalah umat muslim.
“Maka, kalau kita mengatakan gaya hidup halal, artinya kita kembali kepada ajaran agama kita. Dan bagaimana kita hidup sehat. Karena antara halal dan sehat satu yang melekat, maka disebutkan dalam Al Quran halal dan thoyiban,” tegasnya.
Lebih lanjut disampaikan, persoalan produk halal ini menjadi hak konsumen yang harus dipenuhi oleh produsen.
“Jadi, produk halal itu hak konsumen untuk mendapatkannya, dan kewajiban produsen mensertifikasi halal produknya demi kenyamanan konsumen,” urainya.
Karena menurutnya, kalau kembali kepada konstitusi, negara harus memfasilitasi umat beragama menjalankan agama masing-masing.