Kesenian Wayang Potehi, Bertahan dari Perubahan Zaman

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

SEMARANG – Akulturasi budaya masyarakat Tionghoa, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Termasuk kesenian wayang Potehi, yang membawakan cerita budaya asal daratan Tiongkok, yang bercampur dengan karakter budaya lokal.

Sesuai namanya, potehi dari kata pou yang berarti kain, te (kantong), dan hi (wayang), dapat diartikan wayang berkantong kain. Ini sesuai dengan cara memainkannya, yakni memasukkan kelima jari tangan, dalam kantong wayang. Tiga jari tengah mengendalikan kepala, sementara ibu jari dan kelingking, masing-masing mengendalikan tangan wayang.


Wayang potehi, kini tidak hanya sekedar untuk pementasan, namun juga berkembang menjadi cinderamata yang unik dan menarik, Minggu (16/8/2020). Foto: Arixc Ardana

Dengan akar budaya yang melatar-belakangi, cerita wayang potehi masih seputar cerita dongeng, perjuangan, hingga kepahlawanan di negeri Tirai Bambu. Cerita yang sering dipertunjukkan di antaranya Sie Djin Kwie, Sun Go Kong, Poei Sie Giok, dan Pertahanan Perang Jenderal Yang.

Cerita-cerita itu, umumnya dituturkan menggunakan bahasa Hokkian, dengan durasi beragam, mulai empat jam, enam jam hingga berseri atau hingga berhari-hari.

Berbeda dengan wayang Jawa, seperti wayang kulit atau wayang golek, yang membutuhkan ruang cukup besar. Dalam pementasan wayang potehi, cukup menggunakan panggung kecil, bak istana boneka. Tidak hanya itu, dalam beraksi, dalang potehi juga tidak dalam posisi duduk, namun berdiri.

Tidak hanya itu, dalam pementasan, para dalang ini juga dibantu ‘anak’ dalang, yang ikut berperan memainkan wayang, jika dibutuhkan bayang tokoh dalam sekali penampilan.

Lihat juga...