Dengan susah payah Lik Kapir bangkit. Menahan rasa pedih pada betis kanan. Ia merasakan tangan kanan yang kukuh, lentur, merangkul pundaknya. Ki Broto, pemilik ladang yang digarapnya, memapahnya kembali ke gubuk.
Tangan kiri Ki Broto membawa tombak pusaka yang melelehkan darah pada ujungnya, setelah menghunjam ke moncong celeng betina gemuk pendek.
“Boleh saya pinjam tombak itu untuk melawan celeng?” pinta Lik Kapir yang terpesona pada tombak pusaka Ki Broto untuk melindungi diri dari serbuan para celeng.
***
CELENG-CELENG kembali menyerbu ladang singkong yang diolah Lik Kapir. Bulan separuh lingkaran, celeng-celeng keluar dari hutan lereng gunung yang ranggas setelah kemarau panjang tidak juga menurunkan hujan, merusak ladang singkong yang ditanam para petani.
Dan di celah-celah batang singkong, celeng-celeng betina dan seekor celeng jantan besar mengiringi sang ratu, yang rakus makan singkong dan cacing yang dibongkar dari gembur tanah.
Tegar, Lik Kapir mengambil tombak pusaka yang dipinjam dari Ki Broto. Langkahnya pasti, dengan keberanian dan keyakinan yang belum pernah dirasakannya. Tubuhnya yang kerempeng itu dibusungkan. Diayunkan tombak pusaka menghunjam moncong ratu celeng.
Moncong ratu celeng terluka, di bawah mata kanannya, mengucurkan darah. Tetapi ratu celeng itu bukannya melarikan diri. Sepasang matanya menyala, marah, dan tanpa diduga, menyeruduk Lik Kapir. Lelaki tua kerempeng itu jatuh telentang.
Tombak itu terlempar jauh. Celeng-celeng betina lain turut menyeruduk tubuh Lik Kapir yang terkapar di tanah. Tak berharap pada pertolongan siapa pun, Lik Kapir menyerah diseruduk celeng-celeng betina dan seekor celeng jantan besar.