Tahun 1977, makam Bung Karno di Blitar dipugar menjadi makam yang representatif yang layak sebagai makam tokoh pahlawan yang dihormati oleh bangsanya. Arsitek pemugaran ini dibuat oleh Ir. Siswono Yudo Husodo, aktivis GMNI yang kemudian menjadi Menteri Perumahan Rakyat dan Menteri Transmigrasi.
Tahun 1980, di rumah tempat proklamasi dikumandangkan, Jalan Pegangsaan Timur No. 56, dibuat patung kedua proklamator, Bung Karno dan Bung Hatta. Tempat ini diberi nama Tugu Proklamasi.
Tahun 1985, lapangan terbang udara internasional di Cengkareng diberi nama Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Pemberian nama Bandara Soekarno-Hatta seperti Amerika menghargai mantan presidennya dengan memberi nama Bandar Udara Internasioanal di New York dengan nama Bandara John F Kennedy.
Tahun 1986, Bung Karno dan Bung Hatta ditetapkan sebagai Pahlawan Proklamator, klasifikasi penghargaan kepahlawanan yang tertinggi karena hanya mereka berdua yang patut menyandangnya, sedangkan Pahlawan Nasional hingga saat ini tercatat 173 orang.
Dalam biografi Pak Harto disebutkan, “Jelas pengorbanannya sangat besar sampai kita sebagai bangsa bisa merdeka. Bung Karno memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sampai menjadi proklamator Bersama Bung Hatta. Ini merupakan suatu jasa seorang patriot yang harus kita hargai.”
Apa yang dilakukan oleh Pak Harto terhadap Bung Karno sesuai dengan falsafah yang kerap diucapkannya pada Bung Karno, mikul dhuwur mendhem jero.
Bung Karno dan Pak Harto membuktikan bahwa tidak mudah menjadi presiden sekaligus pemimpin di negeri multi etnis, agama, suku, bahkan multi partai. Negeri beribu pulau dengan berbagai keragamannya ini butuh pemimpin yang cerdas, berani dan bijak. ***