Bung Karno & Pak Harto (Bagian 6)

OLEH NOOR JOHAN NUH

Mikul Dhuwur Mendhem Jero

Menjelang 75 tahun kemerdekaan, bangsa ini telah memiliki tujuh presiden. Dari ketujuh presiden itu dapat disimak presiden siapa yang benar-benar menghargai pendahulunya. Apakah Presiden Jokowi menghargai pendahulunya dengan memberi nama pendahulunya untuk proyek prestisius atau monumen  tertentu.  Atau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono malakukannya. Atau Presiden Megawati? Dan seterusnya.

Jika beberapa gelintir orang menyebut Pak Harto mendeligitimasi atau memarjinalkan  Bung Karno, maka yang dilakukan oleh Pak Harto berikut ini adalah bukti sebaliknya.

Berdasarkan Ketetapan MPRS No XXXIII tahun 1967 pasal 4, tertulis: “Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No XV/MPRS /1966, dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.

Jelas dan tandas prosesi pengalihan pemerintahan dari Bung Karno ke Pak Harto berdasarkan Ketetapan MPRS, lembaga tertinggi negara yang anggotanya terdiri dari seluruh  partai politik, utusan golongan, utusan daerah, dan diketuai Jenderal Besar AH Nasution — bukan isu basi yang terus digoreng-goreng, kudeta merangkak.

Dalam pasal 6 Tap MPRS di atas, ditulis: “Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya menyangkut Dr. Ir. Soekarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden.

Ketetapan MPRS tersebut, selain menetapkan Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, juga menugaskan untuk melaksanakan penegakan hukum terhadap Bung Karno. Keputusan Lembaga tertinggi negara yang terdiri dari unsur partai politik, utusan golongan, utusan daerah, menyerahkan pelaksanaan penegakan hukum terhadap Bung Karno kepada Pak Harto, namun sejarah mencatat tidak ada proses hukum terhadap Bung Karno sampai ia meninggal dunia, namun  sebaliknya terjadi pada diri Pak Harto.

Lihat juga...