CAHAYA lilin menerangi meja makan bertaplak putih berenda. Wanita itu duduk di kursi utama, di bagian paling ujung meja dan ketiga anaknya yang masih bocah duduk mengelilinginya.
Mereka bersama-sama menikmati keheningan. Malam itu adalah malam perayaan mereka di meja makan. Tak ada piring, gelas, pisau, garpu, dan setumpuk perabotan lainnya yang biasanya ada ketika jam makan pagi, siang, dan malam mereka.
Hanya ada cahaya. Cahaya dari lilin yang besarnya seukuran lengan, berwarna putih, diletakkan di tengah meja, berkali-kali bergoyang dihembus angin.
Wanita itu memasang sikap siaga lalu memandang bergilir ketiga anaknya. Dari kiri ke kanan ada Elia si sulung yang rambutnya berkucir kuda, Erkos bocah laki-laki yang selalu memasang raut wajah masam, dan Emmi si bungsu yang selalu nampak akan menangis.
“Dia ada di luar!” kata wanita itu.
Suara sepatu bot yang berat terdengar mengetuk-ngetuk halaman diiringi erangan lemah dan sedikit teriakan gusar membuat siapa saja yang mendengarnya mendadak merinding di kesunyian malam itu. Suara yang terdengar sangat jelas dari jendela ruang makan itu.
“Apa Ayah akan menangkap kita?” kata Emmi. Suaranya terdengar hampir menangis.
“Dia bukan ayah kita, bodoh!” Suara Erkos setengah membentak membuat si wanita kontan saja mendekatkan satu jari di depan mulutnya sambil berkata, “Diam, Erkos.”
“Dia pernah menjadi ayah kita,” sahut Elia setengah berbisik. Ia menunjukkan sikap tenang yang terlihat seperti mengayomi kedua adiknya dan merasa perlu melakukannya terus menerus karena mempercayai itulah tugas lazim yang diemban anak sulung.
“Ayah tiri. Ayah tiri kita. Begitu lebih tepat.” Erkos berkata sangat yakin seolah ia baru saja membeberkan sebuah rahasia yang kebenarannya tidak dapat disangkal.