Perginya Sang Pejuang Sunyi
Catatan Ringan Akhir Pekan, T. Taufiqulhadi
Menjelang usia 18 tahun, ia merasa sangat menderita tatkala berada di atas kursi roda. Ia merasa seluruh bagian belakangnya sangat sakit. Dan, yang lebih mengerikan, ia merasa semakin sulit bernafas. Ayahnya menyadari, Irfan sudah habis masa kemampuan untuk duduk, dan karena semua otot, termasuk otot pernapasan menjadi lemah, ia akan menghadapi kesulitan bernapas.
Jika tidak mendapatkan segera alat bantu pernafasan yang disebut ventilator maka Irfan akan menghadapi risiko fatal. Persoalannya, bagaimana cara mendapatkannya? Harga ventilator tidak kurang dari Rp45 juta. Meski telah bekerja tanpa kenal waktu, gajinya cukup hanya untuk membiayai keluarganya setiap bulan. Ia tidak berdaya membeli ventilator. Hafiz, yang seakan berpacu dengan waktu, meminta tolong kepada semua kenalannya. Tapi uang yang terkumpul tetap belum memadai.
Dalam situasi yang sangat genting itu, tanpa diduga satu hari datanglah sebuah paket kecil ke rumahnya. Hafiz membukanya dan isinya adalah sebuah ventiltor baru. Si pengirim adalah Dr Vroom dari Belanda. Rupanya, dalam situasi tak berdaya, Hafiz sempat mengeluh kepada perempuan yang baik ini. Dr Vroom yang terkesan dengan situasi keluarga Hafiz, menghadiahkan sebuah ventilator baru kepada Irfan. Irfan, yang sedang menghadapi situasi antara hidup dan mati, merasa seperti datangnya seberkas cahaya menyerbu puncak kepalanya. Ia gembira, dan hidupnya merasa lebih mudah. Ia menganggap, Tuhan sangat baik kepadanya. Lebih-lebih ketika suatu hari, di rumahnya juga terpasang jaringan internet.
Tapi meskipun ventilator datang, Irfan ambruk total dalam tahun itu: ia tidak bisa duduk lagi. Kini ia hanya berada di tempat tidur. Tapi seperti belum cukup penderitaan pemuda ini, karena semakin lama ia semakin sakit punggungnya, maka dokter menyarankan agar ia ditelungkupkan secara permenen. Dengan ditelungkupkan, Irfan merasa lebih nyaman. Tapi pemuda ini kini terlihat mengenaskan: tidur harus tertelungkup, mulutnya tersumbat alat pernapasan, dan tanpa bisa menggerakkan anggota tubuh sedikit pun lagi kecuali satu jarinya. Tapi anehnya, mata Irfan tetap cerah. Irfan belum menyerah.