Perginya Sang Pejuang Sunyi
Catatan Ringan Akhir Pekan, T. Taufiqulhadi
Irfan diantar ayahnya ke rumah sakit lebih besar dan lebih canggih di Kolombo. Di rumah sakit ini akhirnya orangtuanya menerima vonis bahwa Irfan memang terserang DMD. Seseorang yang terkena simptom ini, akan mengalami kerusakan otot secara progresif, dan dalam waktu dekat akan kehilangan kekuatan sama sekali. Sejauh ini belum ada obat untuk menyembuhkan seseorang yang terkena simptom ini.
Maka tentu saja, tak terbayangkan hancurnya hati sang guru kecil ini ketika menyadari nasib buruk yang menimpa buah hatinya. Bahkan dokter memperkirakan Irfan, yang saat itu sedang beranjak usia delapan tahun itu, tidak akan bertahan hingga empat tahun lagi. Sekembali dari Kolombo, setelah membaringkan Irfan seraya tersenyum, Hafiz keluar dari rumahnya dan menghambur ke rumah ibunya. Di sana, menurut penuturan nenek Irfan itu, Hafiz bersimpuh di depan ibunya tersebut dan sesenggukan sampai pagi. Ibu Hafiz yang arif menasihatkannya untuk pulang dan berdiri di depan Irfan secara tegar, seakan tidak ada apapun yang terjadi. Hafiz melakukan hal itu.
Setahun kemudian, Irfan memang tidak bisa berjalan lagi, dan harus hidup di atas kursi roda. Sebagai anak-anak, sebagaimana pengakuannya, ia merasa sangat kehilangan. Ia harus menyaksikan anak-anak lain dan adik-adiknya berlarian dan bermain kriket di belakang rumahnya.
Irfan menjadi cepat tersinggung dan keras kepala. Neneknya menasihatinya agar Irfan tidak boleh mudah tersinggung. Tapi Irfan tidak bisa menerima nasihat neneknya dan nasehat siapa pun kecuali ayahnya. Ayahnya, biasanya sepulang dari mengajar, mendekati Irfan dan bercerita tentang contoh-contoh soal kebajikan yang hidup di sekitar mereka dan juga bercerita tempat-tempat jauh yang pernah Irfan ingin mengunjunginya.