AKU sebulir biji rumput grinting. Pagi ini untuk persiapan nanti siang yang terik, sengaja makan hara lebih banyak serta lebih banyak menyerap air di tanah yang lembap terkena embun.
Saat-saat ini sedang kemarau, aku selalu takut saat siang hari karena tanah yang menjadi tempat tinggalku menjadi hangat bahkan sesekali panas—ya itulah waktuku untuk bergulat hidup atau mati.
Hari ini aku selamat, siang telah berlalu, waktu telah sore, sinar mentari berwarna oranye. Kemudian saat senja, aku kembali memakan unsur hara di permukaan tanah sampai kenyang, juga minum agar di saat malam tak kelaparan sehingga bisa tidur pulas.
Aku sudah berminggu-minggu seperti ini untuk benar-benar bertahan, tak tahu kapan akan berakhir. Aku sangsi bila mengecambahkan diri. Kalau aku memaksakan, ternyata kemarau masih lama, dari mana mendapatkan cukup minum? Bukankah terik matahari tak dapat dilawan?
Dalam kesendirianku selama ini aku tak henti berdoa agar hujan jatuh. Aku pun ingin tumbuh hidup. Ingin melihat burung terbang, ingin melihat mereka yang suka mampir, dan tentunya ingin menatap langit yang biru itu.
Sebelumnya, sekian minggu aku terkandung di badan ibu, bersama banyak saudara sekeluarga besar yang nyaris menutupi taman yang seluruh permukaannya bertabur batu kerikil.
Tetapi ketika itu di pertengahan musim hujan, atas suruhan bapak pemilik taman depan halaman rumah ini, tukang kebun mencerabuti kami sampai akar agar tak beranak pinak lagi.
Kami ditumpuk, diguyuri bensin. Saat korek api menyala, membaralah api. Kami marah tetapi percuma karena hanya sebagai makhluk diam. Tetapi ibuku beruntung karena berada di paling bawah tumpukan.