MK: Masa Tunggu Napi Koruptor untuk Jadi Cakada 5 Tahun

Editor: Makmun Hidayat

“Dengan demikian, Mahkamah dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama bertolak dari gagasan perlindungan hak konstitusional, yaitu apakah Mahkamah akan mengutamakan pemenuhan hak konstitusional perseorangan warga negara atau pemenuhan hak konstitusional masyarakat secara kolektif. Dalam hal ini, Mahkamah memilih yang disebutkan terakhir,” kata hakim konstitusi Saldi Isra.

Seluruh pertimbangan Mahkamah, kata Saldi, sesungguhnya telah menjelaskan secara gamblang mengapa pilihan itu yang diambil oleh Mahkamah. Sebab, hakikat demokrasi sesungguhnya tidaklah semata-mata terletak pada pemenuhan kondisi siapa yang memeroleh suara terbanyak rakyat dialah yang berhak memerintah, melainkan lebih pada tujuan akhir yang hendak diwujudkan yaitu hadirnya pemerintahan yang mampu memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat sehingga memungkinkan hadirnya kesejahteraan.

“Oleh karena itu, dalam proses berdemokrasi, sebelum tiba pada persoalan siapa yang memeroleh suara terbanyak rakyat dialah yang berhak memerintah secara inheren, terdapat esensi penting yang terlebih dahulu harus diselesaikan yaitu siapa yang memenuhi kualifikasi atau persyaratan sehingga layak untuk dikontestasikan guna mendapatkan dukungan suara terbanyak rakyat. Dalam konteks inilah rule of law berperan penting dalam mencegah demokrasi agar tidak bertumbuh menjadi mobocracy atau ochlocracy,” ungkapnya.

Berdasarkan argumentasi itulah sebut Saldi, maka, sepanjang berkenaan dengan syarat mantan terpidana jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, tak terhindarkan bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali syarat kumulatif yang pernah dipertimbangkan dalam beberapa putusan Mahkamah sebelumnya.

Lihat juga...