Suatu Sore pada Bulan Oktober

CERPEN JELI MANALU

Sere tertawa geli sembari mencelupkan roti gabin tanpa gula ke cangkir berisi kopi panas, menggigitnya, mengibaskan remah-remah jatuh ke baju lalu bicara sendiri, “Betapa naifnya orang-orang ini. Mereka pikir bisnis multi level sesederhana itu? Sesederhana membayangkan enak-enaknya saja?

Hal yang urusannya uang ke uang, untuk menguntungkan satu sisi, ada sisi lain yang harus dikorbankan? Hanya tergiur nikmat tanpa meluangkan kepala memikirkan risiko—ya, ya, ya, paling sesudahnya meraung-raung. Menyalahkan ini dan itu. Menyesal kenal dengan si itu, si itu dan si itu.”

Jauh sebelumnya, Sere pernah dirayu suara merdu melalui telepon. Sere terkesima karena namanya ada yang hafal. Sere takjub kejadian itu seolah di film-film menyebutkan jiwanya terjamin apabila bergabung, “Kau bisa gunakan asuransi itu saat sakit. Pergilah ke rumah sakit dan jangan cemas ketika kau tak punya uang—cukup hubungi kami dengan menyebutkan nomor polis.”

Sere mengiyakan. Agar tak repot-repot dia setujui pembayaran itu tinggal didebit otomatis saja tiap bulan dari tabungannya. Selama lima tahun Sere tak pernah mengklaim asuransi itu. Dia tak pernah rawat inap. Sakitnya ringan-ringan saja.

Paling demam, migrain, masuk angin, yang cukup dibawa ke tukang pijat. Tiba jatuh tempo masalah baru muncul. Sere tidak bisa mencairkan dana yang telah disetornya bertahun-tahun itu. Begini dan begitu, ujar pihak asuransi. Dia dianjurkan melanjutkan hingga beberapa tahun lagi.

Sere tidak mau. Sere ngotot minta dicairkan saja. Pihak asuransi kemudian mencairkan 55 persen. Sisanya jadi setan.

Sere sempat ingin membahasnya dengan Jora, kakak iparnya itu: kau tahu Kak, saat kau menyimpan uang di perusahaan asuransi yang kau sebutkan itu, yang terjadi, uangmu dipekerjakan. Dilacurkan. Si pemakai, atau bahasa sopannya si peminjam dana dari tempatmu itu mungkin sedang merintis usaha.

Lihat juga...