Edy Bawono menyebutkan, pembangunan Monumen Pancasila Sakti bertujuan untuk menghargai jasa para pahlawan revolusi yang telah menngorbanan jiwa raganya demi tegaknya ideologi Pancasila. Tempat ini juga sebagai peringatan bagi generasi berikutnya agar peristiwa semacam itu tidak terulang kembali.
Selain itu, sebagai tempat wisata sejarah untuk generasi penerus. “Mereka bisa datang ke sini sambil berwisata sekaligus belajar tentang sejarah bangsa Indonesia,” imbuhnya.
Sebelum menjadi sebuah museum sejarah, tempat ini merupakan tanah atau kebun kosong yang dijadikan sebagai tempat pembuangan terakhir para korban G30S/PKI.
Di kawasan Monumen Pancasila Sakti terdapat sebuah lubang sumur maut sedalam kurang lebih 12 meter dengan diameter 75 cm yang digunakan untuk membuang jenazah para korban G30S/PKI usai mengalami penyiksaan.
Sumur maut ini adalah tempat membuang 7 pahlawan revolusi, terdiri Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI R. Suprapto, Mayjen TNI MT Haryono, Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI DI Panjaitan, Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo, Perwira TNI Lettu Pierre Tendean Ajudan AH Nasution.
Di dekat lubang sumur tersebut, terdapat prasasti yang bertuliskan “Tjita2 perdjuangan kami untuk menegakkan kemurnian Pantja Sila tidak mungkin dipatahkan hanja dengan mengubur kami dalam sumur ini. Lobang Buaja, 1 October 1965.”
Edy Bawono menjelaskan, pada 1 Oktober 1965 sumur maut tersebut dijadikan sebagai tempat pembuangan jenazah para perwira Angkatan Darat korban pemberontakan G30S/PKI.
“Sumur ini adalah sumur aslinya. Pada waktu itu dijadikan sebagai tempat pembuangan. Setelah dibuang (para korban PKI) kemudian ditimbun kembali dengan tanah bercampur batang-batang pohon pisang dan lain-lain. Kemudian disebar lagi daun-daun kering di atasnya, terutama daun-daun pohon karet dan ditanam pohon pisang di atasnya untuk mengelabui kalau mereka telah memberontak agar tempat ini sulit bahkan tidak dapat ditemukan,” bebernya.