Indef Ingatkan Risiko Kerja Sama ‘BRI’ Cina-Indonesia

Editor: Koko Triarko

Dengan karakteristik komoditas yang diekspor oleh Indonesia tersebut, Indonesia mendapatkan keuntungan. Yakni, ketika terjadi perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat (AS) yang dimulai pada 2017.

“Permintaan ekspor produk minyak sawit dari Indonesia ke Cina meningkat drastis. Tidak hanya Crude Plam Oil (CPO), tetapi juga seluruh turunannya,” katanya.

Minyak sawit sebagai jantung perekonomian Indonesia, cukup tertolong oleh upaya pembelian yang dilakukan Cina. “Meski kita lihat, bahwa pembelian sawit ini juga terdampak oleh beberapa negara-negara yang menerapkan tarif impor. Yakni, hingga ban produk sawit, dari India dan negara-negara Eropa dan AS,” ujarnya.

Dari segi industri, KEK yang cukup pesat perkembangannya di Indonesia saat ini adalah KEK Morowali. Menurutnya, KEK Morowali menjadi pusat hilirisasi nikel terbesar di Indonesia saat ini. Kontribusi ini tidak lepas dari Cina dan BRI-nya. Karena tidak hanya perusahaan, tetapi juga tenaga kerja asing berasal dari Cina.

“Nikel adalah bahan baku baterai. Utamanya baterai dari handphone yang kita saat ini hingga EV (Electronic Vehicle) atau mobil listrik. Selama 10 tahun ke depan, dibutuhkan 1,3 juta ton nikel,” ungkapnya.

Cina dengan ekspansi teknologinya mengharapkan investasi nikel di Indonesia mampu memenuhi kebutuhannya dan dapat menekan biaya. Sehingga, produk-produk elektronik yang dihasilkan tetap kompetitif dibandingkan yang lain.

Dia memprediksi, efek yang akan terjadi melalui kerja sama BRI ini sangat luar biasa. Terutama pembangunan proyek BRI dari segi industri di Indonesia. Apalagi, MoU 28 proyek senilai US$ 91,1 miliar yang sudah ditandatangani antara kedua negara pada April lalu.

Lihat juga...