Pembangunan Infrastruktur Munculkan ‘Urban Sprawl’

Ilustrasi pembangunan jalan tol - Dok: CDN

Sebagai ilustrasi, harga tipe Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana (RSS) pada 1997/1998 senilai Rp5,9 juta dan Rp4,2 juta. Pada 2009/2010, harganya sudah melonjak menjadi Rp80 juta dan Rp55 juta. Berarti dalam jangka waktu 10 tahun, terjadi kenaikan rumah bersubsidi hingga 1.500 persen. Sementara itu, kenaikan UMP rata-rata di Indonesia hanya mencapai 86,9 persen dalam periode yang sama (Sasono, 2012).

Pada 2019, rumah bersubsidi ditetapkan pemerintah bahkan harganya sudah mencapai Rp140 juta. Harga yang cukup fantastis untuk dijangkau oleh mayoritas keluarga Indonesia.

‘Urban Sprawl’

Maka tak heran, jika terjadi fenomena urban sprawl. Semakin marak tumbuhnya kawasan-kawasan perkotaan baru yang pembangunannya tak tertata, tersegregasi, acak dan serampangan di daerah-daerah pinggiran atau perdesaan. Hal ini berdampak pada ekonomi biaya tinggi, boros energi dan tidak berkelanjutan.

Masalah polusi pun mulai datang menghampiri. Sumber daya alam terus tergerus. Sementara akses layanan ke pusat kota semakin jauh untuk ditempuh, dan tak terhubung baik dengan moda transportasi publik.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dirancang akhirnya banyak yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Lahan pertanian banyak yang beralih fungsi menjadi kawasan permukiman.

Alhasil, kualitas hidup masyarakat semakin menurun. Modal sosial semakin merosot. Masyarakat semakin tersegregasi dalam kelas-kelas sosial ekonomi tertentu. Permasalahan menjadi semakin kompleks.

Permukiman kumuh pun menjadi wajah kota-kota kita saat ini. Semakin mudah kita menemukannya di berbagai sudut Tanah Air.

Jaringan jalannya, saluran air (drainase), jaringan air limbah, sistem sanitasi, dan air bersih tidak memenuhi kelayakan secara teknis.

Lihat juga...