Kewenangan Penyidik OJK Timbulkan Ketidakpastian Hukum

Editor: M Hajoran

Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy O.S. Hiariej, memberikan keterangan sebagai ahli pemohon dalam sidang pengujian Undang-Undang Pasal 49 ayat (3), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, tentang Otoritas Jasa Keuangan, di Ruang Sidang MK, Kamis (28/1/2019) -Foto Humas/Ifa.

“Ketentuan yang diuji semata-mata berkaitan dengan kelembagaan OJK dan bersifat rahasia. Hal ini berarti tindak pidana dalam UU OJK tidak spesifik, dan memiliki tindak pidana pokok (core crime),” sebutnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, Hiariej melanjutkan karena tidak adanya tindak pidana pokok, maka secara mutatis mutandis keberadaan PPNS menjadi tidak relevan.

Ia menegaskan, bahwa hal ini berbeda dengan tindak pidana lainnya yang memiliki tindak pidana pokok yang jelas, misalnya tindak pidana perbankan yang diatur dalam UU Perbankan.

“Tindak pidana Perbankan memiliki tindak pidana pokok yang jelas, seperti pendirian bank ilegal, membocorkan rahasia bank, pemalsuan dokumen perbankan, dan lainnya,” ujarnya.

Sebelumnya, permohonan uji materi UU OJK dimohonkan oleh para dosen yang terdiri dari Yovita Arie Mangesti, Hervina Puspitosari, Bintara Sura Priambada, dan Ashinta Sekar Bidari, yang mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 49 ayat (3) UU OJK.

Pemohon mempermasalahkan wewenang penyidikan  dalam Pasal 49 ayat (3), UU OJK tidak mengaitkan diri dengan KUHAP.

Isinya menyebut, PPNS OJK berwenang meminta bantuan aparat penegak hukum. Artinya, lanjut Pemohon, jika tidak dibutuhkan, maka PPNS OJK dapat melakukan penyidikan tanpa berkoordinasi atau pun meminta bantuan penegak hukum lainnya, yakni penyidik POLRI.

Pemohon menegaskan, bila melihat wewenang Penyidik OJK yang termuat dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK, terdapat beberapa ketentuan norma yang melanggar asas due process of law dan dapat menimbulkan kesewenangan-wenangan dari penyidik OJK.

Lihat juga...