Dua hari yang lalu, aku mendengar kabar di radio, kalau tidak salah, presiden akan membuat kebijakan tentang pertanian. Jika aku tidak salah dengar, presiden akan melakukan perbaikan di sektor pertanian, untuk membantu pembangunan negara. Katanya pula, akan membagi pupuk secara cuma-cuma.
Entah, radioku terlalu usang sehingga tidak terlalu jelas aku mendengarnya. Tapi, aku mendengarnya juga menjadi lebih tenang.
Tiba-tiba terdengar suara menggema dari pematang. Suara membentak. Beberapa kali suara itu menyebut namaku.
Jono dengan langkah cepat menghampiriku sambil membawa parang diacung-acungkan. Dadaku berdegup kencang. Dalam hati bertanya-tanya. Aku sempat naik pitam, dia memanggil dengan suara kasar dan berkali-kali mengumpat.
Aku berhenti mencangkul. Matahari mulai panas. Keringatku sebesar biji kacang hijau di kening. Aku bergegas naik ke pematang.
“Apa maksudmu mengurangi pematang sawahku?” bentak Jono.
“Memang seperti itu seharusnya. Coba ukur sawahmu, pasti melebihi ukuran yang seharusnya,” sangkalku.
“Bangsat,” umpatnya. Ia mengayunkan parang ke leherku. Seketika aku berusaha menghindar. Ia menebas membabi buta. Matanya penuh amarah. Napasnya tersengal-sengal. Gerakannya yang tambun membuat aku berkali-kali dapat menghindar dari tebasan.
Aku berusaha menangkis sabetannya dengan cangkul. Aku sudah kehabisan kesabaran. Orang-orang di sekitar mencoba untuk melerai kami yang sudah kalap.
Aku mencoba menyerang dengan mata pacul yang menggumpal oleh lumpur. Terasa berat. Aku menyambarkan pacul ke arah lambungnya, tetapi dia pun bisa menghindar dan menjatuhkan tubuh ke sawah.
Ia tersungkur. Aku bergegas turun dari pematang. Tubuhnya penuh lumpur.