Hama

CERPEN ANAS S. MALO

SAWAH kami akan segera panen. Kami sudah melihat sendiri padi-padi itu sudah menguning. Butir-butirnya padat, berisi. Tujuh puluh lima hari kami menunggu. Selama itulah kami merawat sebagaimana merawat anak-anak kami sendiri.

Akhirnya padi-padi itu merunduk dan tampak gemuk setelah melewati masa-masa penuh ujian. Hama dan penyakit yang begitu sulit kami kendalikan.

Berderet sawah menghampar di sudut desa. Sungai mengalir dengan leluasa. Beberapa bendungan dibuat untuk pengairan. Tanaman-tanaman begitu segar dan sebagian sudah siap panen. Kau bisa melihat orang-orang membawa cangkul dan arit. Kau juga bisa melihat sapi-sapi malas dipaksa untuk membajak atau kau  melihat wanita-wanita menanam bibit padi, ditancapkan ke tanah berlumpur penuh keringat.

Ya, rata-rata warga menggantungkan hidup pada sawah dan kebun. Tanah kami begitu subur. Tanaman akan mudah tumbuh. Orang-orang pergi ke sawah begitu pagi masih buta dan akan pulang ketika matahari mulai di atas kepala. Setelah waktu Asar, mereka kembali dan akan pulang ketika matahari akan tenggelam.

Ketika fajar mulai merekah, aku berangkat ke sawah memanggul cangkul, arit beserta bekal yang dibawa di tangan kiriku. Aku berjalan menyusuri pematang sawah. Lanjaran berjajar terlilit akar kacang. Kami menyebut kacang lanjaran.

Setelah sampai di sawah, aku meletakkan bekalku. Aku turun dari sawah. Sinar matahari memancar dari timur merangkak naik perlahan.

Aku mencangkul lahan yang kosong agar segera dapat ditanami. Sesekali aku melihat petak sebelah, merasa bahagia, karena tanaman padiku beberapa hari lagi siap untuk dipanen.

Peluhku berjatuhan di lumpur. Aku meneruskan mencangkul. Sinar matahari tidak bisa menembus topi anyamam dari bambu.

Lihat juga...