ENAM bulan setelah menikah, putra pertamaku yang kuberi nama Samudera Kelvianto pun lahir. Kelahiran Samu, begitu ia kupanggil, menjawab bisik-bisik sekampung sejak Mariatun kubawa pulang.
Sebenarnya, bisik-bisik itu telah terjawab sekitar dua tiga bulan pernikahan kami. Perut Mariatun yang menggunung mustahil baru berumur dua tiga bulan.
Sampai Samu berumur sepuluh tahun seperti ini, tidak sekalipun kulihat Bapak menyentuhnya. Ia hanya menjawab sekadar bila Samu menyapa.
Begitu juga sikap Bapak terhadap Tondy dan Sally, dua adik Samu yang lahir kemudian. Sikap Bapak membuatku sakit hati. Tega sekali Bapak bersikap seperti itu terhadap darah dagingnya.
Terlebih lagi, hanya kepada anak-anakku, Bapak bersikap dingin dan menjauh. Bapak tidak begitu terhadap cucunya yang lain.
Perasaan sakit hati itu selalu kulepas, walau tak semudah melepas sandal. Aku mencoba maklum. Bapak banting tulang menguliahkanku ke Medan dengan harapan aku pulang membawa gelar sarjana, bukan malah membawa seorang gadis pada tahun ketiga kuliahku. Terlebih gadis sileban, gadis dari pulau seberang.
Total enam anak bapak, aku satunya-satunya yang menetap di kampung. Satu-satunya yang tidak sarjana, satu-satunya yang hidup miskin, satu-satunya yang membuat bapak malu. Aku serupa noda dalam kesuksesan bapak menyekolahkan anak-anaknya.
Bila aku tak dihitung, bisa disebut bapak orangtua yang sukses mendidik dan memperjuangkan anak-anaknya hingga menjadi orang.
Aku anak kelima. Dua laki-laki dan dua perempuan urutan di atasku. Anak pertama sekarang menjadi anggota DPRD di perantauan, istrinya dosen. Anak kedua seorang dokter beristri dokter. Anak perempuan tertua seorang bidan bersuamikan polisi berpangkat tinggi.