Ritual Widin Tana, Mengantar Hewan Kurban Menuju Mahe
Editor: Koko Triarko
“Setelah kepala suku memberi tanda ritual Widin Tana bisa dimulai, maka semua anak suku bersiap untuk mengikuti ritual. Pada barisan terdepan, terdapat kepala suku dan empat ketua adat suku masing-masing,” terangnya.
Selama perjalanan, kata Rofinus, diteriakkan kalimat Eka Pesa Pio Pare, sebagai penghormatan atau kebahagiaan kepada wujud tertinggi. Sambil meneriakkan kalimat ini, juga dilakukan gerakan hentakan kaki dan membuat gerakan anggota tubuh yang melambangkan simbol penghormatan dan kebahagian.
“Para peserta pun bersemangat dan berteriak dengan lantang. Bahkan ada peserta perarakan yang mengacungkan parang ke atas kepala penuh semangat, sambil menghentakkan kaki ke tanah dengan keras,” terangnya.
Di belakang barisan kepala suku dan tetua adat, masing-masing suku membawa serta hewan kurban mereka, baik kambing maupun babi dengan mengikatnya di sebatang bambu. Hewan kurban tersebut pun dipanggul dua lelaki dari suku tersebut.
“Semua orang yang mempunyai ujud atau permohonan khusus saat ritual adat Gren Mahe, juga turut serta membawa hewan kurban atau hewan yang akan dijadikan persembahan ke Mahe,” ucapnya.
Ada juga yang membawa hewan untuk dipersembahkan sebagai ungkapan rasa syukur atas kesuksesan dan keberhasilan yang telah diperoleh selama tahun-tahun sebelumnya. Juga ada hewan kurban dari orang yang mempunyai kesalahan atau melanggar aturan adat.
“Besar kecilnya hewan kurban tergantung dari kesanggupan dan keiklasan dari masing-masing orang. Hewan tersebut nantinya disembelih dan dagingnya dibagikan kepada setiap anak suku dan tetamu yang hadir,” ungkapnya.