Mereka pun terlentang di bibir pantai karena hempasan ombak. Tiba-tiba angin utara berdesir kencang, membekukan tubuh sang putri, hingga jadi sebuah pohon yang diberi nama ramaram. Melihat sang putri yang berubah wujud menjadi sebatang pohon, suaminya meronta dan menjerit panjang. Akhirnya, angin utara pun membekukan badannya. Menjadikan ia seekor anjing yang terus menyalak.
Mendengar cerita ayahnya, bulu kuduk Santo merinding. Wajahnya pucat. Angin utara membelainya pelan. Sigap ia mendekap tubuh ayahnya, berlindung dari angin utara yang terus menyusup di pori-pori kulit.
Ayah Santo hanya tersenyum melihat tingkah Santo.
“Jangan takut, angin itu menyegarkan. Tapi, kematian menakutkan, bukan?” ujar sang ayah, sambil tertawa. Terkekeh-kekeh. ***
Khairul Fatah, lahir di Sumenep, Madura, 1 Februari 1998. Tinggal di Pondok Pesantren Hasyim Asyari Yogyakarta. Aktif di Komunitas Lesehan Sastra Kutub. Cerpennya pernah dimuat di Minggu Pagi, Banjarmasin Post, Fajar Makassar, dan berbagai media lain.
Redaksi menerima cerpen. Tema bebas tidak SARA. Karya belum pernah tayang di media mana pun baik cetak, online, juga buku. Kirim karya ke editorcendana@gmail.com. Disediakan honorarium bagi karya yang ditayangkan.