Setelah mempersiapkan kebutuhan, Maryamah nampak gusar. Ia mondar-mandir di depan pintu rumah. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran. Tepat di sebelah kanan pintu, Sugeng—suami Maryamah—duduk dengan sebatang rokok di tangan kiri, dihisapnya sesekali.
“Duduklah dulu, sebentar lagi dia pasti pulang!” kata suami Maryamah pelan dengan kepulan asap yang berhamburan, menyela dari setiap ucapan.
“Kau memang ayah yang tak punya rasah belas kasih. Anak sendiri tak kembali malah enak-enakan ngopi,” kata Maryamah dengan ketus.
“Terus aku harus apa?”
Hening menenggelamkan pertengkaran kecil mereka. Kekhawatiran Maryamah memilih tak meladeni perkataan suaminya. Angin pelung yang mulai datang sejak tadi pagi membuatnya sangat khawatir pada anaknya, karena tak juga kembali. Dengan wajah khawatir, ia menatap tajam jalan setapak depan rumah, berharap wajah anaknya muncul.
Angin pelung berdesir dingin, menyentuh tubuh Maryamah, hingga marasuk ke tulang sumsum. Dingin mulai dirasakan, berbaur dengan kekalutan hati. Suaminya yang duduk di atas kursi dengan kesal berdiri.
Menyisakan derit pada kursi tua itu, ia berjalan menuju halaman. Sampai di pintu pagar rumah yang terbuat dari bambu, senyumnya tersungging.
“Itu Santo!” ucapnya dengan suara lantang sambil memamerkan senyum pada istrinya.
Maryamah menatap tajam pada ujung jalan setapak. Nampak Santo berlari kencang seakan menghindar dari kejaran angin pelung. Tubuhnya yang basah kuyub membuat Maryamah terheran dan bertanya-tanya.
***
TIGA hari setelah datangnya angin pelung, keluarga Maryamah mendekam di dalam rumah. Di dapur, terlihat Maryamah sibuk dengan masakan. Sedangkan di ruang tamu, Santo duduk termenung menatap belaian angin pada pohon kelapa di depan rumah. Sugeng yang duduk di samping kanan Santo, nampak sibuk dengan tembakau yang sedang dilinting.