ANGIN berdesir semakin kencang. Sayup-sayup angin itu terdengar berdesau, lalu hilang berganti gemuruh ombak yang menghantam pohon ramaram.
Anjing yang berada di bawahnya dengan tangkas melompat menghindar dari terjangan ombak. Setelah ombak surut, anjing itu turun dari atas pohon ramaram. Matanya menatap jalang pada ombak yang menggelora, dan menjulurkan lidahnya seperti mencibir.
Ombak kembali lagi menghantam pohon ramaram, anjing itu melompat lagi, terus berulang-ulang, hingga membangkitkan adrenalin Santo.
Saat anjing itu melompat untuk yang kesekian kalinya dari atas pohon ramaram, tepat setelah kakinya menyentuh buih bekas hempasan ombak, tiba-tiba ombak yang lebih besar menghantam tubuhnya.
Anjing itu tak sempat mengelak, hingga terseret ombak yang datang secara tiba-tiba. Wajah Santo berubah teduh. Melihat kejadian itu, dengan mata redup dan wajah lesu, ia berlari hendak menolong anjing yang terseret ombak itu.
Santo mencoba menggapai tubuh anjing, ombak besar menerjangnya. Semakin tangannya berusaha mendekati tubuh anjing, semakin besar ombak menghantamnya. Hingga ia terhempas ke bibir pantai. Dengan wajah putus asa, ia duduk menatap anjing yang terseret ombak.
Wajah Santo nampak muram —tergurat kesedihan yang mendalam— saat melihat anjing itu terseret ombak ke tengah laut.
Santo pun pulang dengan berjalan gontai dan pakaian yang basah kuyub, sambil sesekali membalikkan badan: melihat anjing yang terseret ombak ke tengah laut.
***
SETIAP angin datang dari utara, Pulau Malangare selalu resah dengan gelombang yang menggelora. Masyarakat Pulau Malangare menyebutnya sebagai angin pelung, angin yang membuat orang-orang pulau tersebut dirundung kesusahan dan ketakutan. Karena angin pelung dipercaya membawa penyakit yang bisa membuat hewan peliharaan mati.