Kemarau Untungkan Pelaku Usaha Kecil di Lamsel

Editor: Koko Triarko

LAMPUNG – Musim panen jagung bertepatan dengan kemarau yang masih melanda wilayah Lampung Selatan, ikut mendukung sektor usaha pembuatan kue atau makanan tradisional di Kecamatan Palas.
Misniati (63), salah satu pelaku usaha kecil setempat, mengatakan, hasil pertanian seperti jagung, pisang, singkong, diolah menjadi marning, keripik singkong, keripik pisang.
Berbagai jenis kue tradisional tersebut, mengandalkan sinar matahari dalam proses produksinya, sehingga tibanya musim kemarau ikut mendukung sektor usaha makanan tradisional. Minat masyarakat akan kuliner tradisional yang mulai jarang ditemui itu, membuatnya mantap bertahan selama belasan tahun.
“Selama kemarau, bahan baku sedikit berkurang sehingga harus mencari ke wilayah yang masih melimpah, tapi kemarau ikut mendukung proses cepatnya penjemuran,” terang Misniati, pemilik usaha rumahan makanan  tradisional saat ditemui Cendana News, Selasa (30/10/2018).
Hasil pertanian berupa singkong, pisang, jagung, kata Misniati, kerap diperoleh dari petani di wilayah kecamatan Palas. Meski demikian, saat musim kemarau ia harus mencari bahan baku ke wilayah kecamatan Sragi, Sidomulyo serta Penengahan.
Hasil usaha kecil makanan tradisional siap dipasarkan -Foto: Henk Widi
Ketersediaan bahan baku yang lancar, membuat usaha pembuatan makanan tradisional masih tetap bertahan. Proses produksi makanan tradisional yang ditekuninya, masih mempergunakan peralatan manual dan sederhana, di antaranya pisau, pasah buah, wajan penggorengan serta pengemasan dengan plastik.
Bahan baku singkong, pisang ,jagung, akan disiapkan terlebih dahulu untuk proses pembuatan kue tradisional. Misniati kerap dibantu oleh sang anak bernama Sumini (28), dan sejumlah tetangga yang kerap membantu saat pesanan banyak.
Proses pengupasan singkong, pisang sebelum diolah menjadi makanan, dikerjakan manual menggunakan pisau. Meski saat ini sejumlah mesin pengupasan sudah banyak dijual di pasaran, namun penggunaan alat tradisional masih dimanfaatkan untuk produksi.
“Penjemuran memanfaatkan sinar matahari masih menjadi pilihan, dan penggorengan juga dilakukan masih tradisional,” beber Misniati.
Penjemuran menggunakan para-para, dilakukan di halaman depan rumahnya, dengan persiapan penutup plastik, agar tidak terkena air saat tiba-tiba hujan turun.
Saat musim hujan, ia harus tetap berproduksi. Penjemuran jagung bahan baku marning bisa dilakukan dalam empat hari, namun saat kemarau bisa dilakukan selama dua hari. Karenanya, kemarau cukup mendukung efesiensi waktu.
Hasil produksi makanan tradisional itu selanjutnya dikemas dalam berbagai ukuran. Permintaan dari sejumlah warung hingga kini masih cukup tinggi, terutama warung di dekat sekolah. Permintaan akan jajanan sehat dari sekolah, membuat produksi makanan ringan tidak mempergunakan bahan pengawet.
“Selain untuk dijual di warung, pada musim hajatan pernikahan dan lebaran Idul Fitri banyak warga yang memesan kue tradisional buatan saya,” terang Misniati.
Berbagai hasil makanan tradisional itu, katanya, dijual dengan sistem kemasan kecil seharga Rp500 hingga Rp1.000 per bungkus. Sejumlah pemesan yang ingin membeli dalam jumlah banyak kerap dilayani dengan sistem timbang, dengan harga mulai Rp10.000 per 250 gram hingga Rp100.000 untuk ukuran 1 kilogram.
Berkat usaha membuat makanan tradisional yang tetap berlangsung hingga kini, ia mengaku masih bisa mendapatkan omzet jutaan rupiah per bulan.
Produksi makanan tradisional yang masih terus berlangsung, kata Mistiani, sekaligus membantu sejumlah petani. Pasalnya, hasil pertanian petani yang selama ini dijual sebagai bahan mentah, bisa dijual menjadi produk jadi yang memiliki nilai jual lebih tinggi.
Sejumlah petani tersebut kerap memberinya pasokan bahan baku setengah sebulan sekali, atau ketika bahan baku diperlukan dalam jumlah banyak. Hasil produk makanan tradisional yang dibuat, selain memasok warung wilayah Palas juga dikirim ke kecamatan lain.
Lihat juga...