“Kalau bisa sekolah jangan di sana lagi, nanti dia bergoyang lagi, bisa tertimpa nanti,” ujar Jois.
Gempa-gempa susulan yang mereka rasakan sejauh ini masih memunculkan kekhawatiran. Kejadian bencana alam yang membuat mereka menangis belum hilang dari benak mereka.
Bersyukur mereka masih dapat berkumpul di satu pengungsian yang sama, sehingga masih dapat bermain bersama-sama lagi.
“Jadi kita itu setiap hari (di pengungsian) bangun, mandi, makan, bermain, makan, tidur siang, bermain lagi, mandi lagi, makan lagi, lalu tidur. Teruuuus seperti itu,” kata Owen yang kemudian disambut tawa oleh yang lain.
Keceriaan anak-anak juga tampak di lokasi pengungsian warga Petobo yang terletak di Dusun Ranoropa, Desa Loru, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi. Guru SMKN 4 Palu Patrini Hadjli (43) ditemui di tempat pengungsian tersebut mengatakan anak-anak tetap ceria, meski sebenarnya masih dalam kondisi berduka.
Patrini yang lebih akrab disapa Rini ini mengatakan saluran irigasi di dekat lokasi pengungsian, dengan air yang jernih deras mengalir tanpa henti membuat anak-anak terlupa akan beban hidup yang sedang dihadapi.
“Kulit mereka sampai kisut karena terus-terusan bermain air. Orang tua lelah harus terus-menerus mengingatkan untuk berhenti bermain air, karena takut nanti sakit. Tapi saluran irigasi ini benar-benar menolong,” ujar guru fisika ini.
Tempat pengungsian mereka begitu teduh, karena berada di bawah pohon-pohon kakao dan tidak jauh dari irigasi serta persawahan. Anak-anak bebas bermain di bawah pohon-pohon dan bermain air di irigasi.
Sementara rumah mereka, sudah luluh lantak teraduk dan dibenamkan oleh lumpur akibat pencairan tanah atau likuifaksi di Petobo.