Di tempat mengungsi pertama itu mereka tidur beralaskan rumput dan beratapkan langit. Hari berikutnya, masih beratapkan langit, tetapi mendapat beralas terpal.
Dengan hanya baju yang melekat di badan, para pengungsi itu bertahan selama seminggu sampai satu per satu bantuan datang menghampiri.
“Kami lari saja ke atas, tidak ada sandal (bertelanjang kaki), lari saja. Kaki ada tertusuk duri tertusuk entah apa pokoknya lari saja,” kata Owen menceritakan pengalamannya menyelamatkan diri.
Pemilik nama yang sama dengan pemain penyerang klub bola asal Liverpool, Inggris, Owen yang satu ini mengaku juga gemar bermain sepak bola. Saat gempa 7.4 Skala Richter (SR) mengguncang sisi timur laut Donggala di kedalaman 11 kilometer (km) dia dan rekan-rekan baru saja selesai berlatih bola.
Owen lari sekencang-kencangnya ke rumah. Ia mengaku menangis saat berlari di tengah goncangan gempa, dan tangisnya semakin pecah saat tanah di sekitarnya mulai retak dan mengeluarkan air.
“Air keluar di mana-mana. Opa Cliff (menyebut seorang kakek dari teman bermainnya yang bernama Cliff) luka tertimpa tembok di rumah,” ujar anak Kelas 5 SD BK Jono Oge ini sambil berusaha merekonstruksi lokasi luka di wajah kakeknya Cliff.
Sesampainya di rumah ia melihat kondisi rumah yang sudah rusak berat. Seketika itu neneknya menariknya untuk kembali berlari menuju gunung Pombewe.
Kebetulan kedua orang tuanya memang sedang tidak ada di rumah. Neneknyalah yang mengarahkannya untuk ikut berlari menyelamatkan diri ke dataran yang lebih tinggi bersama warga lainnya.
Cliff Bredley (10) siswa Kelas 5 SD BK Jono Oge yang juga teman Owen sedikit lebih beruntung. Saat gempa mulai menggoyang Tanah Tandulako kakaknya sempat mengambil tas sekolahnya dan diisi dengan pakaian seadanya serta dua buku tulis.