DAHULU ia berpikir tidak akan lagi mengunjungi kota kelahirannya. Ia sudah merasa kerasan tinggal di perantauan. Tapi, akhirnya ia pulang juga. Sekarang ia termenung-menung seorang diri sambil berjalan di jalanan kotanya.
Kota ini sudah banyak berubah, pikirnya. Kalau dulu di hadapannya, jarak lima langkah dari tempatnya berdiri, ada penjual soto yang gemar mengizinkannya berutang, saat ini yang menjulang di hadapannya deretan ruko yang masing-masing berlantai dua.
Kalau dulu di sepanjang kiri jalan itu ada barisan pohon asam tempat pedagang sepatu kulit yang menggelar dagangannya hanya dengan beralaskan kardus, sekarang yang nampak hanya minimarket. Alangkah enak kalau duduk-duduk di bawah pohon asam sambil minum es serut.
Tapi, pohon asam itu tidak ada lagi dan ia sendiri masih mencari tempat nongkrong yang enak di sepanjang jalan itu.
Ia berjalan terus sepembawa kakinya. Ia melewati pedagang buah yang menyimpan buah-buahannya di bagasi mobil yang terbuka. Di samping mobil pedagang buah, ada pedagang pakaian yang menggantung jualannya juga di bagasi mobil. Di samping pedagang pakaian, ada lagi pedagang kue yang memperlihatkan jajanan kuenya di bagasi mobil.
Ternyata sepanjang jalan itu banyak sekali orang yang berjualan menggunakan mobilnya dan pedagang-pedagang itu nampak parlente. Tidak dilihatnya pedagang-pedagang semasa kecilnya dulu yang sering menampakkan wajah berkeringat seolah mereka setiap harinya hanya menghabiskan waktu untuk bekerja dan bekerja.
Sudah sampai di mana aku? Tanyanya seolah lupa kalau ia sedari tadi hanya berjalan-jalan tanpa tahu di mana akan berhenti. Kawannya yang bernama Mardi berjanji akan menemuinya di warung mie ayam, dekat rumah kawan mereka dulu, Djordi Serrano.