Hingga di suatu hari putra mahkota menginjak dan menendang pundi-pundi itu. Ratu Sima amatlah marah dan menjatuhkan hukuman mati untuk putra mahkota. Para menteri memintakan pengampunan dengan alibi karena tindakan bukan kesengajaan. Ratu mengurangi hukuman dengan mengubah hukuman mati menjadi hukuman potong kaki. Sekali lagi para menteri mengajukan permohonan pengampunan.
Akhirnya, ratu Sima memerintahkan agar jari-jari kaki putra mahkota dipotong sebagai peringatan bagi siapa pun yang berani menyentuh benda atau barang yang bukan haknya.
Kerajaan Majapahit di Jawa Timur pada tahun 1328-1350 juga pernah dipimpin oleh seorang perempuan selama dua puluh dua tahun. Raja perempuan itu adalah Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani yang berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan Majapahit yang kokoh.
Raja perempuan ini kemudian digantikan oleh putranya bernama Hayam Wuruk yang kelak berhasil menyatukan Nusantara. Sejarah juga mencatat bahwa di masa akhir Majapahit sebelum Brawijaya V, ada lagi raja perempuan yaitu Suhita yang memerintah pada 1429-1445.
Di Aceh sejarah mencatat bahwa ada banyak pahlawan perempuan yang benar-benar bertempur di medan pertempuran. Yang paling melegenda adalah sosok Cut Nyak Dien yang selama bertahun-tahun memimpin perang Sabil bergerilya di hutan-hutan Meulaboh, bahkan sampai matanya nyaris buta dan sakit-sakitan sehingga salah seorang pengikutnya yang tidak tega terpaksa berkhianat agar Cut Nyak Dien bisa ditangkap Belanda.
Di samping Cut Nyak Dien masih banyak lagi perempuan pahlawan di Aceh antara lain, Pocut Meurah Intan, Cut Nyak Meutia, dan Pocot Baren.