Dari berbagai fakta sejarah ternyata bisa diketahui bahwa kedudukan dan peran perempuan di Indonesia sangat penting. Itu berarti menunjukkan bahwa jauh sebelum emansipasi dan feminisme bergaung, perempuan Indonesia ternyata sudah memiliki peran yang strategis dalam masyarakat.
Hal ini menunjukkan sesuatu yang unik mengingat bahwa sejak dulu Indonesia (Nusantara) dianggap sebagai masyarakat patriarki yang menempatkan kedudukan laki-laki lebih penting dan dominan dibanding perempuan.
Gambaran patriarki tersebut diungkapkan dengan jelas oleh R.A. Kartini dalam surat-suratnya yang terkumpul dalam Habis Gelap Terbitlah Terang yang mencitrakan sosok perempuan sebagai manusia sekunder atau pelengkap saja. Ungkapan kanca wingking, sigaraning nyawa, pekerjaan perempuan yang masak, manak dan mlumah, menunjukkan citra perempuan yang inferior dan sekedar subordinasi dari kaum laki-laki.
Namun dalam realitanya, ternyata terdapat banyak bukti bahwa di masa lampau kaum perempuan di Nusantara telah memiliki peran penting dalam berbagai sektor kehidupan seperti sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan sektor militer.
Di tahun 674 Masehi yang merupakan sumber tertua sejarah Nusantara yang dicatat oleh orang China, ada kerajaan Holing (yang dimaksud adalah Kalingga) di Jawa Tengah mempunyai raja perempuan yang bergelar ratu Hsi-Mo (Sima).
Berita dari China itu juga menyebutkan bahwa ratu Sima tersebut merupakan raja yang tegas dan adil dalam menegakkan peraturan perundang-undangan. Salah satu perundang-undangan itu adalah dilarang keras menyentuh benda atau harta yang bukan miliknya.
Kabar itu menarik perhatian raja Ta-Shih dan hendak menguji. Diam-diam dia meletakkan pundi-pundi berisi keping uang emas di tengah-tengah jalan pusat kerajaan Kalingga. Selama tiga tahun pundi-pundi tidak ada yang menyentuh, bahkan setiap orang yang lewat jalan itu menghindari.