Gerakan Start-Up Libatkan Mahasiswa Indonesia di China

Ilustrasi - Kerajinan dari limbah/dok. CDN

“Bangun Indonesia agar kalian bisa maju. Saya tidak dibayar pemerintah karena sudah ada perjanjian hukum antara saya dan Googgle. Tidak ada satu pun proyek dari pemerintah karena saya ingin melayani pemerintah,” katanya.

Sementara itu, Kuasa Usaha Ad-Interim KBRI Beijing Listyowati berpendapat, gerakan yang dirintis Yansen sangat tepat dalam menyikapi momentum era digital. “Dalam pengembangan start-up kita dapat belajar dari Tiongkok, seperti kebijakan yang mempermudah wirausahawan muda dan lulusan perguruan tinggi untuk memulai usaha,” ujarnya.

Menurut dia, Indonesia dapat memanfaatkan peluang yang muncul dari kebangkitan perekonomian China. “Tiongkok merupakan negara dengan jumlah unicorn (start-up yang memiliki valuasi senilai 1 miliar dolar AS lebih), terbesar di luar Amerika Serikat,” ujarnya.

Listyowati mencontohkan, Distrik Haidian, Beijing, yang dijuluki Silicon Valley-nya China pada 2000 menjadi pusat perdagangan barang-barang elektronik. Barang-barang elektronik yang dijual itu merupakan produk asing yang dirakit di China sehingga tidak salah jika kemudian negara itu mendapatkan julukan sebagai bangsa peniru.

“Namun beberapa tahun kemudian pemerintah Tiongkok mengambil keputusan dengan mengubah made in China menjadi created in China. Hasilnya berbagai pusat start-up, investor, dan pengacara paten bertumbuhan menggantikan toko-toko penjual barang-barang elektronik rakitan,” katanya.

Ia merasa yakin Indonesia akan memiliki kekuatan secara global dan menjadi basis terbesar ekonomi digital di kawasan Asia-Pasifik. “Saat ini terdapat sekitar 13 ribu pelajar Indonesia di Tiongkok. Tentunya banyak talenta yang membanggakan sehingga jangan sampai kita sia-siakan,” ujar Listyowati. (Ant)

Lihat juga...