Bahan Baku Teri Tawar di Lampung, Melimpah

Editor: Koko Triarko

Pengepul ikan teri seperti Ambo Ajja, misalnya, memiliki satu unit kapal bagan congkel pencari teri. Saat musim paceklik, tangkapan ikan terinya hanya sebanyak 60 cekeng. Namun, pada musim along teri, rata-rata bagan congkel dan bagan apung bisa mendapatkan 100 cekeng. Sehari dirinya bahkan bisa mendapatkan 80 cekeng hasil dari bagan congkel miliknya, sisanya dibeli dari nelayan lain pencari teri.

Modal membeli sebanyak 200 cekeng saja, dengan harga Rp180.000 dirinya harus mengeluarkan sekitar Rp36 juta. Rata-rata per cekeng teri basah ditimbang dengan berat 15 kilogram untuk teri jengki atau sebanyak 3 ton teri segar dibelinya.

Sistem pembelian dilakukan tunai dan sebagian dibayar dengan nota seperti umumnya transaksi nelayan di tempat pendaratan ikan. Hasil ikan teri tersebut diolah menjadi teri asin yang diolah dengan perebusan menggunakan garam.

“Para bos ikan dan nelayan sudah ada relasi saling percaya, keduanya saling menguntungkan, ikan bisa tertampung dan modal melaut bisa ditalangi oleh bos,” papar Ambo Ajja.

Ambo Ajja biasanya hanya mengolah sebanyak 1 ton ikan, maksimal 2 ton ikan teri. Sisanya dijual ke pengolah ikan teri lain dengan estimasi perhitungan upah pengolah ikan teri rebus dan faktor cuaca.

Saat cuaca panas terik, dua ton ikan teri paska perebusan pagi bisa dijemur dan sudah bisa kering sempurna saat sore hari. Namun saat musim hujan dan mendung pengeringan lebih lama, berimbas biaya produksi ikan teri naik dengan upah harian Rp70.000 perorang bisa naik dua kali lipat.

Pendistribusian ke produsen teri lain di wilayah pesisir Kalianda dan Rajabasa disebutnya sekaligus memberi penghasilan bagi perajin teri rebus.

Lihat juga...