Peran Penting Soeharto, Soedirman, dan Sultan dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949
Oleh Eko Ismadi*
Ketika penulis masih berusia Sekolah Menengah Atas di Surakarta, pada kisaran awal tahun 1980-an, saya berkesempatan berjumpa Presiden Soeharto di nDalem Kalitan. Saat itu, Pak Harto bercerita dengan gamblang sekelumit kisah situasi menjelang hingga terjadinya Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Jauh sebelum serangan 1 Maret 1949, Pak Harto menghadap Jenderal Soedirman dan menyampaikan, “Pak, Saya ingin menyerang Belanda di Yogyakarta.”
“Iya, silahkan. Kalau kamu sukses, maka kamu akan jadi orang. Tapi, kalau gagal, saya tidak ingin melihat orang yang menanggung malu, ada di hadapan saya,” begitulah jawaban Jenderal Soedirman kepada Soeharto. Singkat, padat, tapi sangat tandas. Dalam penuturan Pak Harto saat itu, sesudah mendapat restu yang tandas dari Jenderal Soedirman, Pak Harto bertemu dengan Sultan HB IX, di Keraton Yogyakarta.
Saat itu, Yogyakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia sejak 4 Januari 1946, memiliki peran yang sangat strategis dalam proses perjuangan Bangsa Indonesia. Ketika Soekarno memindahkan Ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta, ia memliki taktik dan strategi yang matang. Ada tiga pemikiran Soekarno yang berkaitan dengan Taktik dan Strategi. Pertama, yaitu penunjukan Sultan HB IX sebagai Menteri Negara bidang Pertahanan. Kedua, di tengah masa revolusi yang carut marut, Soekarno tidak memperbolehkan ada markas dan organisasi TNI yang jelas, agar tentara Belanda sulit mendeteksi kekuatan pertahanan RI yang dilakukan dengan cara gerilya.
Soekarno pernah mengatakan, ”Kalau TNI punya markas dan organisasi yang jelas, justru akan mudah dihancurkan Belanda. Bagaimanapun, Sultan memiliki kerjasama dengan Belanda. Kalau Sultan yang mengatur pasukan, maka, Belanda akan berhadapan dengan Sultan. Itu artinya, Belanda sama saja tidak menghargai Kepemimpinan Raja. Jika Ibu Kota Republik Indonesia masih di Jakarta, Indonesia dalam sekejap akan dapat dhancurkan. Jika pindah ke Yogyakarta, kita masih memiliki Simbol Indonesia, karena Belanda tidak akan menghancurkan Keraton. Paham?!”.
Peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949
Saat itu, Jenderal Soedirman menunjuk Soeharto sebagai Komandan Pasukan Keamanan Ibu Kota Yogyakarta. Pertimbangannya, Soeharto merupakan putera kelahiran Yogyakarta, sehingga lebih mengetahui wilayah Yogyakarta dan memiliki pergaulan dengan masyarakat Yogyakarta. Sebagai putra asli Yogyakarta, ketika Soeharto mengemban tugas dan memberi perlawanan kepada Belanda, tidak akan mengalami kesulitan berkomunikasi dalam membangun kerjasama dengan rakyat.