Politik Baru Kelautan Dunia

Oleh: Muhamad Karim*

Muhamad Karim. Foto: Dokumentasi Pribadi

Kejadian teranyar yaitu sertifikasi pulau C dan D di hasil reklamasi Teluk Jakarta yang menabrak UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UPWP3K) No 27/2007 dan perubahannya No 1/2014 (soal zonasi), UU Penataan Ruang No 26/2007 (tata ruang wilayah pesisir), UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No 32/2009 (AMDAL) hingga UU Perlindungan Nelayan, Pembudifaya Ikan dan Petambak Garam No 7/2016. Imbasnya rejimnyanya berubah dari common property right menjadi private property rigth.

Keempat, perubahan rezim alokasi maupun distribusi sumber daya kelautan. Di masa lalu adanya kebijakan pemerintah yang membiarkan kapal asing dan domestik menggunakan alat tangkap destruktif mengakses sumber ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Untungnya kini dihentikan total.

Kelima, perubahan rezim pemanfaatan sumber daya kelautan (baca: ikan dan pulau kecil). Kasus privatisasi pengelolaan pulau-pulau kecil atau maraknya IUUF di perairan Indonesia merupakan fakta empirisnya. Makanya, pemerintah Indonesia gencar memberantas IUUF.

Makanya, gagasan Indonesia mengusulkan hak kelautan sebagai instrumen politik baru kelautan dunia lewat forum WOD menjadi “anti tesis” dari perampasan laut dan menjamin keberlanjutan kesejahteraan masyarakat pesisir serta kedaulatan pangan. Inilah wujud hak negara atas ruang laut dan sumber dayanya untuk menjalankan perintah konstitusi UUD 1945.

*Dosen Agribisnis Universitas Trilogi Jakarta/ Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Lihat juga...