Politik Baru Kelautan Dunia

Oleh: Muhamad Karim*

Muhamad Karim. Foto: Dokumentasi Pribadi

Pertama, pemanfaatan ruang laut secara tertutup oleh pemilik modal atau penguasa untuk kepentingan pribadi. Contohnya, (i) penetapan daerah konservasi di wilayah yang masih asli (virgin) berdalih menyelamatkan plasma nutfah umpamanya di Pulau Komodo, dan Raja Ampat. Kenyataannya, kawasan yang dianggap surga bawah laut dunia itu justru berubah jadi arena bisnis masif dan menggiurkan. Justru yang terjadi akses nelayan dan masyarakat adat teralienasi dari ruang hidup dan habitusnya. Padahal, mereka juga memiliki kemampuan mengelola sumber daya laut secara lokal berbasiskan adat, dan (ii) pembangunan enclave buat wisata bahari (hotel, resort dan cottage) yang disewakan ke pihak asing seperti pulau-pulau kecil, berimbas pada pembatasan akses penduduk lokal (masyaraat adat) di kawasan itu. Bahkan bila mereka masuk kawasan itu ditangkap aparat pengelolanya dan diproses secara hukum. Kejadian ini pernah berlangsung di pulau Komodo beberapa tahun silam.

Kedua, terjadinya pemanfaatan ruang laut yang multi fungsi secara tertutup. Akibatnya, nelayan tradisional yang turun temurun memanfaatkan ruang dan sumber dayanya terpaksa meninggalkan daerah itu dan terusir atas nama pembangunan. Kasus reklamasi Teluk Jakarta dengan beragam multi fungsi ruangnya adalah fakta empiris yang tak terbantahkan. Konon kabarnya hasil reklamasi ini bakal menjadi kawasan bisnis, perumahan mewah, dan wisata. Apakah masyarakat pesisir di daerah itu bakal mendapatkan manfaat atau malah makin miskin?

Ketiga, perubahan rezim property right baik atas ruang maupun sumber daya lautnya. Hal semacam ini kerapkali terjadi di Indonesia tanpa mempertimbangkan masyarakat adat, nelayan dan pembudidaya ikan. Penyewaan dan penguasaan pulau kecil oleh pihak asing otomatis mengubah rezim kepemilikannya dari orang Indonesia ke pihak asing. Padahal UU Pokok Agraria No 5/1960 melarang hal itu.

Lihat juga...