Politik Baru Kelautan Dunia
Oleh: Muhamad Karim*
Praktik perampasan laut ini membuat Indonesia sebagai negara-negara pemilik sumber daya menanggung kerugian yang besar dan kerap tak kuasa menghadapinya. Juga, belum tersedinya konvensi internasional yang memayunginya. Pasalnya, praktek ini selain melibatkan pemodal besar (kapitalis), oknum birokrasi dan aparat serta politisi yang menyokong sekaligus memburuh rente dari bisnis ilegal (misal IUUF). Makanya, Indonesia telah mengusulkan dua hal pokok di PBB yaitu “hak kelautan” dan kejahatan perikanan sebagai kejahatan transnasional karena pelakunya bersifat lintas negara.
Hak Negara
Secara umum, hak penguasaan sumber daya alam sebagai “hak negara” telah diatur dalam konstitusi pasal 33 UUD 1945 ayat (3) yang berbunyi “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Akan tetapi dalam implementasinya tidak disebutkan secara khusus soal hak atas lautan dan kekayaannya di dalamnya.
Meski begitu, secara politik Indonesia punya akar konstitusi kuat mengusulkan hak kelautan di PBB. Pasalnya, aktivitas perampasan ruang laut dan sumber dayanya dalam tiga dekade terakhir di Indonesia telah menyebabkan problem struktural (kemiskinan dan kesenjangan) antara masyarakat pesisir dan non pesisir kian melebar. Ditambah hak-hak kelautan yang jadi domain negara maupun yang “melekat pada masyarakat lokal (masyarakat adat, nelayan tradisional dan pembudidaya ikan) kian tergerus.
Kombinasi antara problem kemiskinan struktural dan tergerusnya hak-hak kelautan mengakibatkan negara kerapkali gagal menghentikan praktek perampasan laut. Makanya, pentingnya mendorong hak kelautan sebagai instrumen politik baru dalam dunia kelautan bakal jadi anti tesis dari perampasan laut dan membangkitkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat pesisir secara berkelanjutan. Apa saja aktivitas perampasan laut yang melanda pesisir dan laut Indonesia dalam tiga dekade terakhir?